JAKARTA — Penerimaan pajak sampai dengan kuartal III/2025 kemarin terus mengalami kontraksi. Tren memburuknya penerimaan pajak tersebut dipicu oleh kemampuan daya pungut penerimaan pajak yang selama ini terus melemah.
Salah satu indikator yang bisa mengukur seberapa parah pelemahan penerimaan pajak itu adalah tax buoyancy. Skema tax buoyancy secara sederhana bisa diartikan sebagai elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan alamiah produk domestik bruto alias PDB.
Pertumbuhan alamiah PDB diukur dari pertumbuhan ekonomi ditambah dengan inflasi. Artinya jika realisasi pertumbuhan ekonomi kumulatif dari Januari – September 2025 sebesar 5,01% dan inflasi sebesar 1,82%, maka pertumbuhan alamiah penerimaan pajak seharusnya berada di angka 6,83%.
Persoalannya sampai dengan kuartal III/2025 lalu, penerimaan pajak justru masih minus 4,4%, sehingga elastisitas penerimaan pajak hanya di angka minus 0,64. Angka ini mengonfirmasi bahwa penerimaan pajak tidak elastis, karena setiap 1% pertumbuhan ekonomi tidak menghasilkan 1% penerimaan pajak. Kinerja buoyancy tersebut juga bisa diartikan bahwa penerimaan pajak tidak sebanding dengan peforma ekonomi Indonesia, yang secara kumulatif hingga September mampu tumbuh di angka 5,01%.
Adapun, kalau melihat secara teoritik, tinggi rendahnya tax buoyancy itu bisa diukur melalui empat indikator. Pertama, jika nilai tax bouyancy di atas 1 maka penerimaan pajak tumbuh lebih cepat dari ekonomi. Kedua, jika nilai tax bouyancy sama dengan 1 maka penerimaan pajak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi (netral, secara proporsional tak naik atau turun).
Ketiga, jika nilai tax bouyancy di bawah 1 maka penerimaan pajak tumbuh lebih lambat dari ekonomi. Keempat, jika nilai tax bouyancy negatif maka penerimaan pajak justru turun ketika ekonomi tumbuh. Nilai tax buoyancy sendiri diperoleh dari perhitungan persentase perubahan penerimaan pajak dibagi dengan persentase perubahan PDB.
Dengan demikian, penerimaan pajak bukan hanya tidak responsif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, melainkan kontraktif (penerimaan pajak bergerak berlawanan dengan pertumbuhan ekonomi).
Pada periode yang sama tahun lalu atau kuartal III/2024, nilai tax bouyancy Indonesia juga negatif yaitu -0,27. Hanya saja, otoritas pajak bisa memperbaiki kinerja pemungutan pajak sehingga pada akhir tahun nilai tax bouyancy tak lagi negatif yaitu 0,71—meskipun belum ideal atau di bawah 1 yang menunjukkan penerimaan pajak tumbuh lebih lambat dari ekonomi.
Upaya Otoritas
Sebelumnya, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak sebesar Rp1.295,3 triliun atau baru setara 62,4% dari outlook sepanjang tahun (Rp2.076,9 triliun) hingga akhir September 2025.
Artinya, Kemenkeu perlu mengumpulkan Rp781,9 triliun dalam tiga bulan terakhir 2025 agar outlook penerimaan pajak sepanjang tahun bisa tercapai.
Meski sulit, Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kemenkeu Yon Arsal menjelaskan periode Oktober–Desember memang selalu menjadi masa pengumpulan penerimaan terbesar sepanjang tahun. Dia menyebut, pola tersebut juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
“Ini memang cukup challenging, namun tiga bulan terakhir itu di mana kita biasanya merealisasikan berbagai hasil aktivitas pengawasan yang sudah kita lakukan sejak awal tahun,” ujar Yon dalam media briefing di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Jakarta, Senin (20/10/2025).
Oleh sebab itu, Direktorat Jenderal Pajak akan memaksimalkan sejumlah langkah untuk memaksimalkan penerimaan pajak akhir tahun. Pertama, pengawasan pembayaran masa dengan menyesuaikan besaran pajak terhadap kinerja sektor usaha.
Artinya, sektor yang tumbuh akan kita lakukan dinamisasi naik agar pembayaran pajaknya sesuai dengan seharusnya. Sebaliknya, sektor yang turun juga akan memberi kelonggaran melalui dinamisasi turun.
Kedua, memperkuat pengawasan kepatuhan material melalui kegiatan pemeriksaan, penegakan hukum, dan penagihan aktif. Yon mengaku bahwa seluruh langkah itu merupakan kelanjutan dari proses pengawasan yang sudah dijalankan sejak awal tahun.
“Mudah-mudahan kita masih tetap optimis bahwa target yang dibebankan itu masih bisa kita realisasikan,” tutupnya.
———————-
Artikel berjudul “Bukti Peforma Pajak Loyo, Tax Buoyancy Jatuh ke Titik -0,64
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20251110/259/1927512/bukti-peforma-pajak-loyo-tax-buoyancy-jatuh-ke-titik-064





