JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tetap bisa memungut pajak dari uang pensiun dan pesangon pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja alias PHK setelah Mahkamah Konstitusi menolak dua gugatan uji materi.
Peristiwa yang terbaru, MK mementahkan permohonan uji materi atas Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang diajukan oleh 12 pekerja bank dan seorang ketua serikat buruh.
Dalam putusan Perkara Nomor 186/PUU-XXIII/2025, Ketua MK Suhartoyo menilai permohonan uji materi tidak jelas atau obscuur. Ketidakjelasan itu membuat Mahkamah tidak melanjutkan pemeriksaan terhadap kedudukan hukum maupun pokok perkara para pemohon.
“Karena permohonan Pemohon tidak jelas atau kabur atau obscuur, maka Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan para Pemohon lebih lanjut,” ujarnya dalam sidang pengucapan putusan, Kamis (13/11/2025), dikutip situs resmi MK.
Mahkamah menilai argumentasi para pemohon mengenai frasa “tunjangan dan uang pensiun” dalam Pasal 4 ayat (1) huruf a UU PPh tidak sesuai dengan rumusan pasal yang sebenarnya.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, kata Suhartoyo, frasa tersebut tidak terdapat dalam ketentuan dimaksud, melainkan terpisah menjadi kata “tunjangan” dan “uang pensiun”.
Selain itu, Mahkamah menilai permohonan yang diajukan juga tidak konsisten. Dalam petitum pertama, pemohon mencampurkan alasan permohonan ke dalam bagian permintaan, sedangkan pada petitum kedua, pemohon meminta agar Pasal 17 ayat (1) huruf a dinyatakan konstitusional bersyarat, tetapi dalam alasan permohonan justru menyebutkan pertentangan pasal secara keseluruhan.
Dengan demikian, MK memutuskan permohonan para pemohon yang tercatat dalam perkara Nomor 186/PUU-XXIII/2025 tidak dapat diterima.
Sebagai informasi, Pasal 4 ayat (1) UU PPh mengatur bahwa penghasilan yang menjadi objek pajak mencakup setiap tambahan kemampuan ekonomis yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak, termasuk gaji, upah, komisi, bonus, gratifikasi, serta uang pensiun. Adapun Pasal 17 mengatur lapisan tarif progresif PPh berdasarkan besaran penghasilan.
Permohonan ini diajukan oleh 12 pekerja bank swasta, termasuk seorang ketua umum serikat karyawan. Mereka mempersoalkan pengenaan pajak terhadap pesangon dan manfaat pensiun yang dinilai bertentangan dengan hak konstitusional pekerja sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
Para pemohon berpendapat bahwa pesangon dan pensiun merupakan hak normatif dan bentuk penghargaan atas masa kerja, bukan tambahan penghasilan baru. Karena itu, mereka meminta MK menafsirkan ketentuan pajak secara konstitusional bersyarat agar tidak mencakup dana jaminan sosial seperti uang pensiun, Jaminan Hari Tua (JHT), dan Tunjangan Hari Tua (THT).
Penolakan Serupa
Sebelumnya, permohonan serupa juga sudah sempat ditolak MK. Dalam putusan Nomor 170/PUU-XXIII/2025, Mahkamah menyatakan permohonan uji materi pajak pesangon dan pensiun tidak dapat diterima karena tidak memenuhi syarat formil dan substansi.
Hakim Konstitusi Arsul Sani menjelaskan para pemohon yaitu Rosul Siregar dan Maksum Harahap, dua karyawan swasta, tidak cermat dalam menyusun permohonan. MK menilai adanya ketidakkonsistenan dan kekeliruan dalam menyebut norma undang-undang yang diuji, serta petitum yang tidak jelas.
“Ketidakkonsistenan serta kekeliruan tersebut membuat permohonan tidak jelas atau kabur mengenai pasal atau ketentuan mana yang sebenarnya dimaksud untuk diuji,” ujar Arsul dalam sidang pembacaan putusan di Jakarta, Kamis (30/10/2025), seperti dikutip dari laman resmi MK.
Mahkamah menilai petitum para pemohon juga tidak lazim karena tidak memberikan alternatif permintaan. Ketiadaan pilihan tersebut menyebabkan permohonan tidak memenuhi asas kejelasan dan kepastian hukum sebagaimana prinsip yang diatur dalam hukum acara MK.
Sebelumnya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU No. 7/1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.
Keduanya berpendapat bahwa pesangon, uang pensiun, tunjangan hari tua (THT), dan jaminan hari tua (JHT) seharusnya dikecualikan dari objek pajak penghasilan karena merupakan hak sosial yang berfungsi sebagai jaminan pasca kerja.
Hanya saja, MK menilai permohonan tersebut obscuur libel atau kabur sehingga tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut. Dengan demikian, pesangon, pensiun, THT, dan JHT tetap termasuk objek PPh sesuai Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang menyebut setiap tambahan kemampuan ekonomis—termasuk uang pensiun dan imbalan kerja—sebagai penghasilan kena pajak.
———————-
Artikel berjudul “Dua Gugatan Ditolak MK, Purbaya Tetap Pungut Pajak Pesangon Pekerja Kena PHK
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20251114/259/1928725/dua-gugatan-ditolak-mk-purbaya-tetap-pungut-pajak-pesangon-pekerja-kena-phk





