Bisnis.com, JAKARTA – Pemerintah melalui Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menilai pengaturan karaoke sebagai objek pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) atas jasa kesenian dan hiburan dengan tidak membedakan karaoke keluarga dan karaoke pada umumnya sudah tepat.
Adapun pengaturan karaoke sebagai objek PBJT tertuang dalam Undang-undang No.1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
“Pada prinsipnya, aspek perpajakan daerah tidak membedakan pengenaan pajak antara karoke keluarga dengan karaoke lainnya,” kata Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kemenkeu Luky Alfirman dalam sidang Pengujian Materiil UU HKPD di Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (11/7/2024).
Dalam sidang tersebut, Luky menuturkan bahwa usaha karaoke, aktivitas mandi uap/SPA, dan diskotik merupakan gaya hidup dan bukan merupakan kebutuhan primer.
Aktivitas-aktivitas ini, lanjutnya, hanya dilakukan oleh masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang relatif tinggi, di mana kelompok ini sudah mampu memenuhi kebutuhan utamanya dan masih memiliki kemampuan lebih untuk dibelanjakan pada hal-hal sekunder maupun tersier seperti diskotik, karaoke, kelab malam, dan mandi uap/SPA.
Merujuk pada Teori Conspicuous Consumption, Luky menyebut bahwa konsumen akan tetap membeli barang meski terjadi kenaikan harga, termasuk di dalamnya ada kenaikan akibat pajak, sepanjang barang jasa tersebut memberikan nilai utilitas lain berupa prestise, gaya hidup, dan status sosial mereka.
“Hal ini yang kemudian mendasari pengenaan tarif pajak yang lebih tinggi untuk aktivitas-aktivitas tersebut,” jelasnya.
Dalam teori penetapan tarif pajak, dia menyampaikan bahwa ada prinsip keadilan, di mana kelompok masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang lebih tinggi akan menanggung beban pajak yang lebih besar daripada masyarakat dengan kemampuan ekonomi yang lebih rendah.
Dengan demikian, Luky mengatakan bahwa pemerintah harus menarik tarif pajak yang lebih tinggi atas barang-barang yang bersifat eksklusif tersebut untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat sehingga kesejahteraan masyarakat dapat tercapai.
Untuk diketahui, pemerintah melalui UU HKPD menetapkan PBJT atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap atau SPA, paling rendah 40% dan paling tinggi 75%.
Kebijakan ini lantas menimbulkan keberatan di kalangan pelaku usaha jasa hiburan. Salah satunya pedangdut sekaligus pemilik tempat karaoke Inul Vizta, Inul Daratista.
Dalam catatan Bisnis, Minggu (14/1/2024), Inul meminta pemerintah untuk membedakan perizinan dan aturan pajak untuk karaoke keluarga dan diskotek atau kelab malam.
Dari sisi pendapatan, Inul menuturkan bahwa karaoke keluarga dan jasa hiburan lainnya seperti kelab malam sangat jauh berbeda. Apalagi, kelab malam meraup untung besar lantaran menjual minuman beralkohol hingga live music.
“Income tidak segede club malam. Ada LC-miras-VIP karaoke-Live music dll. Pendapatan mereka 1000x lipat gedenya daripada usaha saya,” jelas Inul melalui unggahan Instagramnya, dikutip Minggu (14/1/2024).
Meski diakui Inul usahanya diuntungkan lantaran mendapatkan izin usaha yang sama, yakni dapat menjual minuman beralkohol dan lainnya, tetapi kebijakan dikembalikan kepada masing-masing daerah.
“Meskipun kita diuntungkan karena izin sama, yang artinya boleh jualan juga, tapi berhubung setiap Perda (peraturan daerah) punya aturan beda dan banyak yang tidak izinkan, kami jualan hanya juice dan makanan sehat sesuai usaha kita yaitu karaoke keluarga,” ungkapnya.
Adapun sejumlah asosiasi jasa hiburan kemudian mengajukan uji materil terhadap UU HKPD. Terbaru, proses pengujian materiil kembali digelar pada hari ini, Kamis (11/7/2024) dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden. Sidang perkara akan kembali dilanjutkan pada Rabu (24/7/2024) dengan agenda mendengar pendapat ahli pemohon.
———————-
Artikel berjudul “Kemenkeu Sebut Pungutan Pajak Karaoke Keluarga dan Sejenisnya Tak Dibedakan
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20240711/12/1781474/kemenkeu-sebut-pungutan-pajak-karaoke-keluarga-dan-sejenisnya-tak-dibedakan