Kinerja Pajak Loyo, Coretax dan Daya Beli Jadi Pemicu?

JAKARTA — Kinerja elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan ekonomi atau tax buoyancy tercatat melemah hingga berada di level negatif sampai dengan kuartal III/2025. Kondisi tersebut mencerminkan belum optimalnya sistem perpajakan dalam menangkap pertumbuhan ekonomi.

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menjelaskan penurunan tax buoyancy sejatinya berkaitan erat dengan penurunan tax ratio. Ketika elastisitas pajak rendah, kenaikan produk domestik bruto (PDB) tidak diikuti peningkatan signifikan pada penerimaan pajak.

“Jika tax buoyancy tinggi ketika perekonomian tumbuh dan sistem pajak mampu menangkap pertumbuhan tersebut, penerimaan pajak juga ikut terdongkrak sehingga tax ratio meningkat,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (10/11/2025).

Prianto menjelaskan pelemahan tax buoyancy dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Dari sisi internal, dia menilai implementasi sistem inti administrasi perpajakan alias Coretax menjadi penyebab utama gangguan pada penerimaan.

“Faktor paling dominan adalah Coretax yang menyebabkan tidak ada setoran pajak pada Januari 2025 karena skema yang disediakan hanya melalui modul deposit pajak di Coretax. Sistem ini sulit diakses pada beberapa bulan pertama 2025,” jelasnya.

Sementara itu, faktor eksternal bersumber dari kemampuan bayar wajib pajak yang menurun seiring dengan pelemahan ekonomi dan daya beli masyarakat. Kondisi tersebut berdampak langsung terhadap penurunan omzet dan laba perusahaan yang berimbas pada turunnya penerimaan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penghasilan (PPh) badan.

Adapun dalam catatan Kementerian Keuangan, realisasi penerimaan PPh Badan mencapai Rp215,1 triliun sampai dengan akhir September 2025. Angka itu turun 9,4% dari realisasi penerimaan PPh Badan periode yang sama tahun lalu.

Sementara itu, realisasi penerimaan PPN & PPnBM mencapai Rp473,44 triliun. Angka itu turun 13,2% dari realisasi penerimaan PPN & PPnBM periode yang sama tahun lalu.

Menurut Prianto, sejumlah sektor usaha juga mengalami kelesuan bisnis sepanjang tahun, terutama sektor ritel dan manufaktur, termasuk industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang selama ini menjadi penyumbang besar penerimaan pajak.

Selain faktor teknis dan ekonomi, Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) itu juga menyoroti masih lemahnya tingkat kepatuhan pajak, khususnya di sektor underground economy (UGE).

“Pelaku usaha di UGE berasal dari transaksi legal maupun ilegal, tetapi mereka memang tidak bersedia patuh pajak,” tutupnya.

Tax Bouyancy Minus

Sebagai informasi, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat realisasi penerimaan pajak sebesar Rp1.295,3 triliun atau baru setara 62,4% dari outlook sepanjang tahun (Rp2.076,9 triliun) hingga akhir September 2025.

Artinya, Kemenkeu perlu mengumpulkan Rp781,9 triliun dalam tiga bulan terakhir 2025 agar outlook penerimaan pajak sepanjang tahun bisa tercapai.

Tren memburuknya penerimaan pajak tersebut dipicu oleh kemampuan daya pungut penerimaan pajak yang selama ini terus melemah.

Salah satu indikator yang bisa mengukur seberapa parah pelemahan penerimaan pajak itu adalah tax buoyancy. Skema tax buoyancy secara sederhana bisa diartikan sebagai elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan alamiah produk domestik bruto alias PDB.

Pertumbuhan alamiah PDB diukur dari pertumbuhan ekonomi ditambah dengan inflasi. Artinya jika realisasi pertumbuhan ekonomi kumulatif dari Januari – September 2025 sebesar 5,01% dan inflasi sebesar 1,82%, maka pertumbuhan alamiah penerimaan pajak seharusnya berada di angka 6,83%.

Persoalannya sampai dengan kuartal III/2025 lalu, penerimaan pajak justru masih minus 4,4%, sehingga elastisitas penerimaan pajak hanya di angka minus 0,64. Angka ini mengonfirmasi bahwa penerimaan pajak tidak elastis, karena setiap 1% pertumbuhan ekonomi tidak menghasilkan 1% penerimaan pajak.

Kinerja buoyancy tersebut juga bisa diartikan bahwa penerimaan pajak tidak sebanding dengan peforma ekonomi Indonesia, yang secara kumulatif hingga September mampu tumbuh di angka 5,01%. 

Adapun, kalau melihat secara teoritik, tinggi rendahnya tax buoyancy itu bisa diukur melalui empat indikator. Pertama, jika nilai tax bouyancy di atas 1 maka penerimaan pajak tumbuh lebih cepat dari ekonomi.

Kedua, jika nilai tax bouyancy sama dengan 1 maka penerimaan pajak sejalan dengan pertumbuhan ekonomi (netral, secara proporsional tak naik atau turun).

Ketiga, jika nilai tax bouyancy di bawah 1 maka penerimaan pajak tumbuh lebih lambat dari ekonomi. Keempat, jika nilai tax bouyancy negatif maka penerimaan pajak justru turun ketika ekonomi tumbuh.

Dengan demikian, penerimaan pajak bukan hanya tidak responsif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional, melainkan kontraktif (penerimaan pajak bergerak berlawanan dengan pertumbuhan ekonomi).

———————-

Artikel berjudul “Kinerja Pajak Loyo, Coretax dan Daya Beli Jadi Pemicu?
dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20251111/259/1927807/kinerja-pajak-loyo-coretax-dan-daya-beli-jadi-pemicu