OECD Beri Saran untuk Kerek Pendapatan RI, Bukan Cuma PPN 12%

JAKARTA — Organization for Economic Co-operation and Development atau OECD melihat penerimaan pajak Indonesia masih menjadi salah satu yang terendah di Asia Tenggara (Asean).

Informalitas dan tingkat kepatuhan pajak yang rendah merupakan tantangan utama bagi pemerintah dalam menghimpun pajak. Untuk itu, OECD menyampaikan penting bagi pemerintah untuk meningkatkan pendapatan dari pajak. 

Dalam OECD Economy Surveys Indonesia edisi November 2024, tercatat dalam beberapa tahun terakhir harga komoditas telah menyumbang sebagian dari penurunan rasio penerimaan pajak terhadap PDB sebelum pandemi dan pemulihannya sejak tahun 2022.


Sementara Presiden Prabowo Subianto telah menetapkan tujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dari 13,5% saat ini menjadi 23% dari PDB pada 2029.

OECD melihat Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi salah satu cara untuk mengerek penerimaan negara, tetapi bukan hanya sebatas menaikkan tarif dari 11% menjadi 12%. 

Pemerintah dinilai juga perlu memperluas basis pajak. Saat ini, bisnis dengan omzet di bawah Rp4,8 miliar (US$300.000) tetap dibebaskan dari PPN. Ambang batas ini lebih tinggi dari kebanyakan negara OECD dan jauh lebih tinggi dari Thailand dan Filipina, yang hanya sekitar US$50.000. 

“Menurunkan ambang batas kewajiban PPN, serta mengurangi jumlah sektor yang tidak dikenai PPN, akan meningkatkan pemungutan PPN dari sektor-sektor yang baru dikenai maupun yang sudah dikenai,” tulis OECD dalam laporannya, dikutip pada Selasa (26/11/2024). 


Selain PPN, OECD menyarankan pemerintah untuk menerapkan kebijakan perpajakan yang lebih luas, terutama untuk cukai.

Melalui pertimbangan eksternalitas polusi udara dan tujuan pengurangan emisi, terdapat beberapa peluang untuk melakukan langkah yang saling menguntungkan dalam menaikkan cukai bahan bakar dan mengurangi subsidi bahan bakar, meskipun sensitivitas politik harus diatasi. 

Meskipun Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) ditanggung oleh rumah tangga yang mampu, pajak ini sangat rumit dan menyebabkan kurangnya deklarasi. 

Implementasi Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) dengan mengenakan pajak atas kepemilikan mobil, bukan atas pembelian mobil, dapat membuat sistem ini tidak terlalu rentan terhadap deklarasi yang kurang. 


“Cukai rokok juga harus lebih ditingkatkan, untuk meningkatkan pendapatan dan meningkatkan kesehatan, karena merokok masih menjadi tantangan kesehatan yang sangat besar di Indonesia dan membawa kerugian ekonomi yang cukup besar,” lanjut OECD. 

Indonesia yang sedang berusaha menjadi anggota organisasi tersebut, juga diminta untuk menurunkan bracket atau ambang batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP).  

Untuk PPh Badan, ketimbang menaikkan tarif, OECD melihat Indonesia memiliki peluang untuk memperluas basis pajak badan dengan mereformasi dan mempersempit rezim pajak praduga usaha kecil, dan dengan menghapuskan insentif pajak atau membuatnya lebih murah. Indonesia juga harus memastikan bahwa insentif pajaknya tetap sesuai dengan perjanjian Pajak Minimum Global.

Sementara terkait pajak properti, meski Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) menjadi ranah pemerintah daerah, mereka dapat meningkatkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sehingga pendapatan daerah akan meningkat. 

Dari NJOP yang berperan sebagai alat penilaian PBB, akan memungkinkan Indonesia meluncurkan pajak waris secara bertahap. 

Meski demikian, dengan kenaikan PPN 12% mulai 1 Januari 2025 saja, daya beli masyarakat dikhawatirkan menurun dan menekan konsumsi rumah tangga yang berkontribusi paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi. 

———————-

Artikel berjudul “OECD Beri Saran untuk Kerek Pendapatan RI, Bukan Cuma PPN 12%
dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20241126/259/1819287/oecd-beri-saran-untuk-kerek-pendapatan-ri-bukan-cuma-ppn-12