SERANG — Direktorat Jenderal atau Ditjen Pajak Kemenkeu mengungkapkan kontribusi kelas menengah terhadap penerimaan pajak penghasilan orang pribadi (PPh OP) tak lebih dari 1% terhadap total PPh OP.
Kepala Subdirektorat Pengelolaan Penerimaan Pajak Ditjen Pajak Muchamad Arifin menyampaikan fakta tersebut dalam giat Media Gathering APBN 2025, Kamis (26/9/2024).
“Pajak yang dibayarkan [kelas menengah] orang pribadi jika ditotalkan secara nasional dibandingkan penerimaan total, nyaris tidak besar, sekitar 1%,” ungkapnya.
Arifin menilai hal ini kurang ideal, karena untuk menjadi negara maju, pajak orang pribadi yang seharusnya menjadi penopang penerimaan pajak.
Sementara di Indonesia, orang pribadi lebih banyak bekerja di sektor UMKM yang umumnya termasuk dalam sektor informal. Di mana sektor ini tidak terpantau dalam radar otoritas pajak. Berbeda dengan badan usaha yang tercatat oleh Ditjen Pajak.
Untuk itu, penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang telah terlaksana sejak Juli 2024, menjadi salah satu cara Ditjen Pajak untuk melacak orang pribadi yang belum melaksanakan kewajiban perpajakan.
“Maka tadi kalau NIK bisa berjalan di 2025 dan core tax, nanti data di situ tergabung. Kelihatan si X dengan penghasilan sekian belum punya NPWP, beda dengan karyawan karena pasti dipotong,” jelasnya.
Alhasil, dengan Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) atau Core Tax Administration System (CTAS) yang akan rillis pada akhir tahun, akan otomatis menambah basis pajak.
Dampaknya, tidak hanya PPh maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang meningkat, namun seluruh jenis penerimaan pajak.
Misalnya, sepanjang tahun ini hingga Agustus 2024, realisasi penerimaan pajak dari PPh OP senilai Rp11,44 triliun. Artinya, sumbangan dari kelas menengah yang sekitar 1%, hanya sekitar Rp114 miliar.
Padahal, di tengah menurunnya penduduk kelas menengah (middle class) sebanyak 9,4 juta yang menjadi kelompok menuju kelas menengah (aspiring middle class) dalam lima tahun terakhir, tercatat pengeluaran kelompok ini meningkat untuk iuran pajak.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat rata-rata pengeluaran kelas menengah ternyata meningkat dalam lima tahun terakhir. Pada 2019, rata-rata pengeluaran kelas menengah sebesar Rp2,36 juta per kapita per bulan, sedangkan pada 2024 menjadi Rp3,35 juta per kapita per bulan.
Rupanya, salah satu pos pengeluaran yang meningkat adalah untuk pajak atau iuran. Pada 2019 tercatat bahwa kelas menengah mengeluarkan 3,48% untuk pajak/iuran atau prioritas pengeluaran keenam dibandingkan keperluan-keperluan lain.
Pada 2024 kondisinya berubah. Pengeluaran kelas menengah untuk pajak/iuran naik menjadi 4,53%. Dari sisi prioritas, pengeluaran itu pun menjadi naik ke peringkat keenam setelah makanan (41,67%), perumahan (28,52%), dan barang/jasa lainnya.
———————-
Artikel berjudul “Anak Buah Sri Mulyani: Sumbangan Pajak Kelas Menengah Hanya 1%
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20240926/259/1802704/anak-buah-sri-mulyani-sumbangan-pajak-kelas-menengah-hanya-1