JAKARTA — Pemerintah sedang mengkaji insentif fiskal baru untuk menggoda perusahaan multinasional menanamkan modal di Indonesia, lantaran insentif lama seperti tax holiday atau tax allowance menjadi tidak relevan pasca penerapan pajak minimum global 15%.
Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan Mekar Satria Utama menjelaskan bahwa insentif tersebut akan dirancang agar tidak menggerus perhitungan tarif pajak efektif (effective tax rate/ETR) hingga di bawah 15% sesuai aturan pajak minimum global.
“Nah, yang ada di dalam model rules itu apa yang disebut dengan qualified refundable tax credit. Jadi, pemberian insentifnya itu dalam bentuk yang harus ada refundable [bisa dikembalikan],” jelas Mekar saat ditemui Bisnis usai acara Policy Dialogue The PRAKARSA & Indef di Jakarta, Kamis (25/9/2025).
Dia memaparkan ada dua model yang sesuai dengan jenis insentif itu yaitu marketable tax credit dan qualified refundable tax credit.
Marketable tax credit sendiri memungkinkan sebuah perusahaan dapat kredit pajak dari pemerintah karena berinvestasi. Jika kredit itu lebih besar daripada kewajiban pajaknya, maka perusahaan bisa menjual ke perusahaan lain (yang butuh kredit untuk mengurangi pajak).
Sementara qualified refundable tax credit merupakan kredit pajak yang dapat dikembalikan, yang mekanisme pengembaliannya dilakukan dalam bentuk kas atau setara kas.
“Mestinya [insentif baru pengganti tax holiday/allowance] mengarah kepada policy [kebijakan] yang seperti itu, yang tujuannya adalah kalau ada insentif dia pengaruhnya terhadap penghitungan effective tax rate itu rendah,” jelas Mekar.
Kendati demikian, sambungnya, keputusan akhir ada di tangan Kementerian Keuangan. Dia menekankan bahwa Direktorat Jenderal Pajak tidak merumuskan tetapi menjalankan aturan perpajakan yang sudah ada.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Bimo Wijayanto menjelaskan insentif pajak yang sedang disiapkan pemerintah bertujuan untuk memperkuat yang sudah ada.
“Jadi hilirisasinya makin bagus, makin dalam, otomatis distribusi manfaatnya juga makin oke. Kita lagi rancang itu,” ujar Bimo di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (11/9/2025).
Kendati demikian, dia belum mau mendetailkan insentif pengganti tax holiday hingga tax allowance itu. Bimo meminta setiap pihak bersabar.
Sementara itu, Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan bahwa pemerintahan masih memantau perkembangan negara lain. Dengan demikian, insentif pengganti yang ditawarkan Indonesia bisa tetap bersaing dibandingkan negara lain.
“Jadi kita akan selalu membandingkan dengan negara-negara lain juga. Karena kita kan pasti harus melihat ketertarikannya dibandingkan banyak negara lain,” jelas Febrio di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Efek Pajak Minimum Global
Adapun, Indonesia resmi menerapkan pajak minimum global sejak awal tahun ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136/2024.
Aturan yang sudah diterapkan puluhan negara lain ini mengharuskan penerapan pajak sebesar 15% bagi perusahaan multinasional dengan pendapatan global tahunan di atas 750 juta euro. Dengan demikian, persaingan antarnegara untuk menetapkan tarif pajak rendah (race to the bottom) demi menarik investasi bisa ditekan.
Masalahnya, selama ini Indonesia merupakan negara yang memberikan insentif pengurangan pajak hingga penghapusan pajak (tax allowance dan tax holiday) kepada perusahaan yang berinvestasi ke Indonesia sehingga tarif efektif pajak penghasilan (PPh) yang dibayarkan sangat rendah atau di bawah 15%.
Penerapan pajak minimum global 15% di Indonesia pun membuat insentif tax allowance dan tax holiday menjadi kurang menarik atau bahkan tak relevan. Oleh sebab itu, pemerintah berupaya mencari jenis insentif lagi agar perusahaan multinasional tetap tertarik berinvestasi di Indonesia.
Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa tidak semua insentif terkena dampak penerapan pajak minimum global. Menurutnya, insentif berbasis pengeluaran (expenditure-based) seperti immediate expensing maupun accelerated depreciation relatif lebih aman dibandingkan insentif berbasis penghasilan (income-based).
Selain itu, instrumen berupa qualified refundable tax credit (QRTC) juga dinilai lebih kompatibel dengan aturan pajak minimum global. Skema ini memengaruhi besaran Adjusted Global Income alih-alih Adjusted Covered Tax sehingga tidak terlalu menekan tarif efektif perusahaan.
“Di Asean sendiri, Singapura yang bergerak paling cepat, yang pada 2024 lalu sudah mengeluarkan kebijakan QRTC bernama Refundable Investment Credit [RIC]. Saya kira, kita bisa mengikuti langkah dari Singapura tersebut,” tutup Fajry kepada Bisnis, Kamis (11/9/2025).
———————-
Artikel berjudul “Bocoran Insentif Fiskal Baru untuk Perusahaan Asing, Efek Penerapan Minimum Global 15%
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20250925/259/1914795/bocoran-insentif-fiskal-baru-untuk-perusahaan-asing-efek-penerapan-minimum-global-15