JAKARTA — Sejumlah sektor usaha di Indonesia tercatat menyebabkan tergerusnya penerimaan pajak di Indonesia. Beberapa faktor dinilai menjadi penyebab rendahnya penerimaan pajak di sektor-sektor tersebut, mulai dari informalitas yang tinggi hingga banyaknya insentif maupun pengecualian terhadap kewajiban pajak.
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang dipaparkan ke Komisi XI DPR hari ini, Rabu (26/11/2025), rasio penerimaan pajak (tanpa kepabeanan dan cukai) sekitar lima tahun belakangan atau setelah pandemi Covid-19 tidak pernah menyentuh angka 9% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Capaian rasio pajak tertinggi dalam kurun waktu 2021 sampai 2024 tertinggi pada 2023 yakni 8,94% terhadap PDB. Kemudian, di 2025, realisasi baru mencapai 8,58% terhadap PDB, dengan target sebesar 9% pada akhir tahun.
Namun, apabila ditambah dengan kepabeanan dan cukai alias rasio perpajakan (tax ratio), maka target pemerintah yakni 10,25% terhadap PDB di akhir tahun ini.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Bimo Wijayanto menjelaskan bahwa beberapa faktor yang memengaruhi tax ratio di Indonesia meliputi struktur ekonomi, kebijakan perpajakan, dan faktor administrasi.
Dari segi struktur ekonomi, Bimo menjelaskan bahwa perekonomian Indonesia masih didominasi oleh UMKM. Hal itu terlihat dari dominasi UMKM dengan omzet setahun di bawah Rp50 miliar apabila dibandingkan dengan total PDB. Secara terperinci, usaha mikro dengan omzet hingga Rp300 juta mencapai 37,35% terhadap PDB.
“Hal ini secara langsung menunjukkan sebagian besar ekonomi Indonesia masih berasal dari sektor yang belum menjadi basis pajak utama karena dikenakan tarif pajak yang lebih rendah atau bebas, karena [omzet] sampai Rp500 juta badan usaha itu tidak dikenakan pajak yang 0,5%,” paparnya kepada Komisi Keuangan DPR, Rabu (26/11/2025).
Sebagaimana diketahui, UMKM dengan omzet sampai dengan Rp500 juta dibebaskan dari pajak penghasilan (PPh) final. Sementara itu, bagi yang beromzet Rp500 juta sampai dengan Rp4,8 miliar setahun mendapatkan insentif PPh final 0,5% dan telah diperpanjang dari 2027 ke 2029.
Selain struktur ekonomi, rendahnya penerimaan pajak turut disebabkan oleh struktur pelaku usaha dan pilihan kebijakan pajak yang berlaku secara variatif. Misalnya, sektor konstruksi dan real estate memiliki mekanisme pengenaan PPh final yang berbeda dengan sektor lain.
Dari materi yang disampaikan oleh Bimo di DPR, sektor usaha konstruksi memberikan kontribusi terhadap PDB sebesar 10,5%. Namun, kontribusinya hanya 5% terhadap penerimaan pajak.
Situasi yang jomplang itu juga terlihat dari sektor pertanian yang berkontribusi terhadap PDB 12,8%, namun hanya memberikan 1,9% terhadap penerimaan pajak. Menurut Bimo, hal ini disebabkan oleh beberapa pengecualian pajak serta tingginya porsi tenaga kerja informal di beberapa sektor dimaksud.
“Pertambahannya terhadap penerimaan pajak relatif masih rendah akibat pengecualian pengenaan pajak dan tingginya informalitas di sektor seperti yang nampak di tabel,” ucapnya.
Secara pertumbuhannya, papar Bimo, sektor pertanian, kehutanan dan perikanan pada kuartal III/2025 tumbuh 12,08% (yoy). Namun, tingkat pengecualian pajak pada sektor tersebut membuat kontribusinya kepada penerimaan pajak rendah.
Sebaliknya, sektor yang memberikan kontribusi terbesar kepada penerimaan pajak seperti industri pengolahan dan perdagangan tumbuh lebih rendah. Hal ini terlihat dari kontribusinya terhadap PDB di mana industri pengolahan dan perdagangan masing-masing berkontribusi 19,9% dan 13%.
Kontribusi dua sektor tersebut tercatat lebih tinggi terhadap penerimaan pajak yakni masing-masing sebesar 28,8% dari industri pengolahan, dan 18,8% dari perdagangan.
Akan tetapi, pada waktu yang sama, pertumbuhan ekspor terhadap PDB meningkat signifikan seperti yang terekam pada kuartal III/2025. Namun, penerimaannya terhadap pajak rendah.
“Laju pertumbuhan komponen ekspor berkontirbusi sangat signifikan terhadap PDB, sementara pajak yang dihasilkan dalam perdagangan ekspor tertekan akibat tarif PPN 0%,” jelas Bimo.
Di luar itu, restitusi pajak yang tinggi juga disebut memengaruhi kinerja penerimaan. Bimo mengeklaim bahwa pihaknya pada waktu yang sama memberikan kepastian hukum dan membantu cash flow perusahaan dengan memastikan restitusi terlaksana.
“Tren restitusi pada 2025 terjadi peningkatan sampai dengan triwulan III 2025 sekitar Rp90,57 triliun atau tumbuh 38,81% dari jumlah restitusi pada periode yang sama tahun sebelumnya,” pungkas Bimo.
———————-
Artikel berjudul “Bos DJP Ungkap Biang Keladi Setoran Pajak dari Sejumlah Sektor Usaha Minim
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20251126/259/1931938/bos-djp-ungkap-biang-keladi-setoran-pajak-dari-sejumlah-sektor-usaha-minim





