JAKARTA — Rendahnya rasio pajak Indonesia merupakan imbas dari adanya celah pajak atau tax gap baik yang ditimbulkan dari kepatuhan maupun kebijakan.
Selisih antara potensi dan realisasi penerimaan pajak Indonesia disebut mencapai total 6,4% terhadap produk domestik bruto (PDB) selama 2016-2021.
Hal ini diungkap oleh Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Bimo Wijayanto berdasarkan data Bank Dunia yang diolah, saat menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) lanjutan dengan Komisi XI DPR, Rabu (26/11/2025).
“Jadi tax gap di Indonesia menurut referensi dari laporan Bank Dunia itu 6,4% dari produk domestik bruto,” terang Bimo kepada jajaran Komisi Keuangan DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (26/11/2025).
Total rata-rata tax gap per tahun itu merupakan gabungan dari gap yang diakibatkan oleh kebijakan fiskal (policy gap) sebesar 2,7%, dan akibat ketidakpatuhan (compliance gap) sebesar 3,7%, terhadap PDB.
Secara terperinci, gap antara realisasi dan potensi penerimaan pajak di Indonesia akibat kebijakan fiskal selama 2016-2021 yakni sebesar rata-rata setiap tahunnya 2,7% terhadap PDB atau senilai Rp396 triliun. Menurut Bimo, gap akibat kebijakan fiskal ini mencerminkan potensi kehilangan penerimaan pajak akibat pengecualian, tarif khusus maupun insentif pajak.
Dalam hal ini, Bimo turut memaparkan belanja perpajakan selama lima tahun terakhir serta proyeksinya kebutuhannya ke depan. Belanja perpajakan itu meliputi insentif untuk PPN dan PPnBM, PPh, bea masuk dan cukai, PBB P5L serta bea materai.
Estimasi belanja perpajakan, sebagaimana yang dilaporkan olehnya, meningkat apabila dilihat dari kurun waktu 2021 sampai dengan 2024. Dari total Rp293 triliun pada 2021, kemudian tumbuh hingga Rp400,1 triliun pada 2024.
Angka tersebut diperkirakan menjadi semakin tinggi pada 2025 dan 2026, masing-masing sementara diperkirakan sebesar Rp530,3 triliun dan Rp563,6 triliun.
Di sisi lain, gap antara realisasi dan potensi penerimaan pajak di Indonesia akibat ketidakpatuhan lebih besar yakni rata-rata setiap tahunnya 3,7% terhadap PDB. Nominalnya mencapai Rp548 triliun.
Bimo menyebut potensi kehilangan penerimaan pajak akibat ketidakpatuhan wajib pajak (WP) itu akibat realisasi yang belum optimal, baik secara sengaja maupun tidak sengaja.
“Hal ini mencerminkan potensi ketidakpatuhan, penghindaran pajak dan penggelapan pajak,” terang Dirjen Pajak lulusan Taruna Nusantara itu.
Adapun Bimo menyebut tidak ada negara yang tidak memiliki tax gap. Rata-rata tax gap di negara maju, lanjutnya, bisa mencapai sekitar 3,3%. Oleh sebab itu, dia mengatakan bahwa selisih antara realisasi dan potensi penerimaan pajak itu merupakan masalah yang dihadapi secara global.
Beberapa upaya yang dilakukan oleh pihaknya untuk menangani masalah tersebut yakni dengan mengupayakan pengurangan compliance gap, melalui perbaikan dan penguatan tata kelola administrasi serta sistem proses bisnis.
Tujuannya yakni untuk meminimalkan compliance gap melalui peningkatan kepatuhan implementasi penegakan aturan yang berdasarkan target, penerapan compliance risk management tanpa membebani WP yang sudah patuh, serta soft engagement melalui edukasi guna mengurangi ketidakpatuhan akibat ketidakpahaman atau involuntary non-compliance.
“Kemudian, memperkuat digitalisasi administrasi kami, e-faktur, e-bukti potong, e-filing dan lain-lain, implementasi Coretax, lalu digitalisasi administrasi e-faktur, e-bukti potong, e-filing, pemadanan NIK-NPWP dan single profile untuk meningkatkan basis pajak serta pertukaran automatic exchange of information,” pungkasnya.
———————-
Artikel berjudul “Bos Pajak ungkap Alasan Rasio Pajak RI Rendah, Ini 2 Pemicunya
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20251126/259/1931886/bos-pajak-ungkap-alasan-rasio-pajak-ri-rendah-ini-2-pemicunya





