Bunyi Aturan Pajak Pesangon, Buruh Kena PHK Bisa Kena Potongan 25%!

JAKARTA — Dua pekerja swasta mengajukan uji materi terhadap ketentuan pajak penghasilan (PPh) yang menetapkan uang pesangon dan pensiun sebagai objek pajak progresif.

Permohonan diajukan oleh Rosul Siregar dan Maksum Harahap ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 17 UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) juncto UU No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Kedua ketentuan itu dianggap menempatkan pesangon dan pensiun setara dengan tambahan penghasilan baru, padahal secara substansi merupakan hak normatif pekerja yang dikumpulkan selama masa kerja.

Kuasa hukum pemohon, Ali Mukmin, menjelaskan bahwa negara tidak seharusnya memperlakukan uang pesangon dan pensiun sebagai tambahan kemampuan ekonomis, karena dana tersebut merupakan “tabungan terakhir” hasil jerih payah pekerja.

“Pajak pesangon, pajak pensiun, itu sudah puluhan tahun dikumpulkan oleh para pekerja tiba-tiba kok disamakan dengan pajak penghasilan progresif,” ujar Ali dalam sidang di Jakarta, Senin (6/10/2025), dikutip dari situs resmi MK.

Pemohon menilai bahwa penerapan pajak progresif terhadap pesangon dan pensiun bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menjamin kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Beban pajak atas penghasilan pekerja menjelang pensiun dinilai mencederai prinsip keadilan karena menempatkan kelompok rentan dalam posisi yang sama dengan kelompok produktif.

Dalam petitumnya, pemohon meminta MK menyatakan pasal-pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap pesangon, uang pensiun, THT, dan JHT, serta memerintahkan pemerintah untuk menyesuaikan sistem perpajakan agar selaras dengan konstitusi.

Isi Aturan Pajak Pesangon 

Adapun dasar hukum pungutan pajak pesangon tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh, yang terakhir kali diperbarui dalam UU HPP. Bunyinya yaitu:

Yang menjadi Obyek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

Dalam Pasal 17 ayat (1) UU PPh ditetap tarif pajak untuk setiap penghasilan kena pajak yang sifatnya progresif (semakin tinggi penghasilan, semakin besar tarifnya). Ada empat lapisan yang ditentukan, yaitu:

Pertama, penghasilan bruto sampai dengan Rp50 juta dikenai tarif PPh 5%. Kedua, penghasilan bruto di atas Rp50 juta sampai dengan Rp250 juta dikenai tarif PPh 15%.

Ketiga, penghasilan bruto di atas Rp250 juta sampai dengan Rp500 juta dikenai tarif PPh 25%.

Keempat, penghasilan bruto di atas Rp500 juta dikenai tarif PPh 30%.

Skema PP No.68/2009

Kendati demikian, Pasal 17 ayat (2) UU PPh menyatakan tarif tertinggi 30% itu bisa diturunkan menjadi paling rendah 25% sesuai Peraturan Pemerintah (PP).

PP 68/2009 kemudian mengatur secara tarif spesifik pajak pesangon. Pasal 4 PP 68/2009 mengatur tarif final pajak pesangon yang berbeda dengan yang diatur UU PPh, yaitu:

Pertama, penghasilan bruto sampai dengan Rp50 juta tidak dikenai tarif PPh final (0%).

Kedua, penghasilan bruto di atas Rp50 juta sampai dengan Rp100 juta dikenai tarif PPh final 5%.

Ketiga, penghasilan bruto di atas Rp100 juta sampai dengan Rp500 juta dikenai tarif PPh final 15%.

Keempat, penghasilan bruto di atas Rp500 juta dikenai tarif PPh final 25%.

———————-

Artikel berjudul “Bunyi Aturan Pajak Pesangon, Buruh Kena PHK Bisa Kena Potongan 25%!
dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20251010/259/1919277/bunyi-aturan-pajak-pesangon-buruh-kena-phk-bisa-kena-potongan-25