Daftar Negara dengan Risiko Terbesar Terdampak Pajak Karbon CBAM Uni Eropa

JAKARTA — Uni Eropa tengah bersiap menerapkan mekanisme penyesuaian lintas batas atau carbon border adjustment mechanism (CBAM) bagi impor produk dengan intensitas emisi karbon tinggi. Indonesia termasuk negara yang berisiko terdampak regulasi ini.

CBAM merupakan upaya ambisius Uni Eropa untuk menyelaraskan arus perdagangan dengan target iklim mereka. Mekanisme ini dibangun di atas EU Emissions Trading System (ETS) dengan membanderol harga atas emisi produksi dari barang yang diimpor, terutama produk industri, dari luar Uni Eropa.

Mengutip Bloomberg, CBAM dibangun untuk menciptakan arena persaingan yang adil bagi industri berat dalam negeri negara anggota Uni Eropa. Industri-industri ini berpotensi kehilangan daya saing karena beban harga karbon yang terus meningkat.

Dengan menerapkan pajak tambahan atas jejak karbon barang impor, CBAM menjadi regulasi pertama di dunia yang dirancang untuk mengatasi risiko carbon leakage, yaitu perpindahan industri beremisi tinggi ke wilayah dengan harga karbon yang lebih rendah yang memicu tekanan industri domestik UE sekaligus melemahkan aturan lingkungan.

CBAM sendiri bakal mencakup enam sektor utama, yakni semen, besi dan baja, aluminium, pupuk, listrik, serta hidrogen. Selama ini, Uni Eropa memberikan alokasi izin karbon gratis bagi sektor industri untuk melindungi mereka dari biaya tambahan akibat harga karbon. Namun, skema ini akan berakhir seiring dengan dihapusnya alokasi gratis secara bertahap untuk sektor CBAM pada 2026 hingga 2034.

Adapun mulai 2027, importir wajib membeli dan menyerahkan sertifikat CBAM untuk barang yang diimpor pada 2026. Harga sertifikat ini akan mengikuti ETS Uni Eropa dan setara dengan emisi karbon yang terverifikasi dari produk terkait. Proses ini berjalan paralel dengan penghapusan bertahap alokasi gratis bagi produsen domestik. Dengan demikian, baik impor maupun produksi dalam negeri akan dikenakan perlakuan yang setara.

Prinsip CBAM cukup sederhana. Di bawah mekanisme ini, importir membayar biaya emisi karbon yang terkandung dalam barang industri. Namun, penerapannya rumit, dengan banyak rincian teknis yang masih menunggu kejelasan.

Selama fase transisi hingga akhir 2025, perusahaan hanya diwajibkan melaporkan emisi karbon yang terkandung dalam produk impor, tanpa harus membayar. Periode ini mendorong perusahaan untuk menghitung potensi biaya yang akan timbul sekaligus menguji sistem pelaporan.

Hasil lobi dan konsultasi memunculkan sejumlah penyesuaian, termasuk penghapusan kewajiban bagi perusahaan yang mengimpor kurang dari 50 ton produk tertentu per tahun. Kelompok usaha kecil dan menengah (UKM) yang mendapat keringanan ini mencakup sekitar 90% dari importir Uni Eropa yang tercakup dalam CBAM.

Meski ada fleksibilitas tambahan, inti dari CBAM tetap tidak berubah, Uni Eropa memperkirakan 99% emisi dari sektor besi, baja, aluminium, dan semen tetap akan tercatat dalam aturan baru ini, dengan mayoritas impor yang terkena CBAM berasal dari segelintir negara besar.

Lantas, bagaimana nasib Indonesia?

Sejumlah pasar global menghadapi risiko paling besar dari CBAM. China, Turki, dan Inggris Raya menempati posisi teratas berdasarkan nilai absolut produk yang diekspor ke Uni Eropa.

Adapun dari seluruh negara G20 mitra dagang Uni Eropa yang dianalisis BloombergNEF, Indonesia menempati peringkat ke-12 sebagai negara pengekspor terbesar produk terimbas CBAM. Komoditas ekspor Indonesia yang diperkirakan terdampak paling signifikan oleh CBAM adalah besi dan baja dengan nilai US$1 miliar, kemudian disusul aluminium senilai US$60 juta.

China menempati posisi teratas dengan ekspor komoditas paling besar terdampak CBAM, dengan nilai US$11,8 miliar dalam kategori besi dan baja, US$2,39 miliar produk aluminium, dan pupuk senilai US$170 juta.

Turki kemudian menyusul di peringkat kedua dengan nilai ekspor besi dan baja sebesar US$6,93 miliar ke Uni Eropa dan aluminium senilai US$2,46 miliar.

Inggris Raya juga masuk dalam deretan negara dengan ekspor terbesar yang disasar CBAM, masing-masing dengan ekspor besi dan baja sebesar US$4,84 miliar, aluminium senilai US$1,34 miliar, dan semen US$160 juta.

Cakupan program ini akan diperluas secara bertahap. Ke depan, mekanisme CBAM juga akan mencatat emisi tidak langsung atau Scope 2 emissions. Sektor tambahan seperti produk minyak olahan dan bahan kimia organik dasar berpotensi dimasukkan dalam aturan tersebut.

Biaya karbon yang dibayarkan melalui pungutan CBAM diperkirakan akan menjadi sumber pendapatan signifikan bagi Uni Eropa. Dana ini sudah dialokasikan untuk membiayai sebagian besar belanja pada masa depan, khususnya guna mendukung proses dekarbonisasi industri.

———————-

Artikel berjudul “Daftar Negara dengan Risiko Terbesar Terdampak Pajak Karbon CBAM Uni Eropa
dikutip dari https://hijau.bisnis.com/read/20251001/653/1916659/daftar-negara-dengan-risiko-terbesar-terdampak-pajak-karbon-cbam-uni-eropa