Dampak Berganda PPN 12%, dari PHK hingga Daya Beli Melorot

JAKARTA – Kenaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% dikhawatirkan memberi efek berganda mulai dari penurunan daya beli masyarakat hingga pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Direktur Eksekutif Core Indonesia Mohammad Faisal mengatakan kenaikan PPN menjadi 12% akan menambah beban biaya produksi yang berpotensi akan menekan industri manufaktur lebih dalam. 

Mirisnya, lanjut dia, jika kembali ada tambahan beban dari sisi biaya produksi, maka akan mengurangi tingkat profitabilitas dan akan bisa mendorong kontraksi lebih panjang. Terlebih, tarif PPN 12% ini juga dikenakan dari sisi konsumen, bukan hanya industri.

Menurutnya, jika konsumen mengurangi tingkat konsumsi, maka akan berpengaruh ke industri. Ini artinya, selain adanya peningkatan biaya produksi, para pelaku industri juga dibebankan dengan minimnya permintaan barang dari kelas menengah.

Selain itu, Faisal menuturkan efek lain dari tarif PPN 12% juga berpotensi memicu penambahan gelombang PHK di Tanah Air. 

Dia menyebut salah satu pendorong PHK lantaran industri mengalami tekanan dari sisi penjualan maupun keuntungan, dan bukan hanya imbas dari lonjakan biaya produksi semata.

Berdasarkan catatan Bisnis, sebanyak 64.751 karyawan di Indonesia terkena gelombang PHK per 18 November 2024. 

Adapun wilayah penyumbang PHK tertinggi berasal dari DKI Jakarta sebanyak 14.501 tenaga kerja yang ter-PHK. Wilayah ini berkontribusi sebesar 22,4% dari 64.751 karyawan yang ter-PHK. Mengekor Jawa Tengah dengan tenaga kerja yang ter-PHK mencapai 12.492 dan 10.992 tenaga kerja Banten di-PHK.

Data Kemnaker kembali menunjukkan, ada tiga sektor PHK tertinggi antara lain pengolahan sebanyak 28.336 tenaga kerja, aktivitas jasa lainnya 15.629 tenaga kerja, dan perdagangan besar dan eceran sebanyak 8.543 tenaga kerja.

Aktivitas pekerja manufaktur
Aktivitas pekerja manufaktur

Faisal menyebut efek domino yang ditimbulkan dari PPN 12% mengharuskan pemerintah mempertimbangkan kembali pemberlakuan PPN 12% pada awal tahun depan. “Yang terbaik adalah menunda kenaikan PPN 12% dan menambah insentif afirmatif di sektor yang rentan,” kata Faisal kepada Bisnis, Selasa (19/11/2024).

Faisal menilai, akan lebih bijak jika pemerintah memberlakukan PPN 12% setelah terjadinya peningkatan daya beli atau konsumsi. Mengingat saat ini jumlah penduduk yang tergolong kelas menengah turun kasta menjadi 4,78 juta jiwa pada 2024.

Namun, daya beli bisa kembali menguat juga tergantung dari kebijakan pemerintah. Dia menjelaskan, saat daya beli sedang melemah dan pemerintah mengenakan kebijakan yang memberatkan masyarakat, maka pemulihannya bakal lebih sulit.

“Jadi kebijakan untuk mendorong konsumsinya yang harus diprioritaskan untuk bisa membalikkan kondisi. Dan ketika sudah kuat, baru ada peningkatan tarif PPN,” terangnya.

Kaji

Sementara itu Pemerintah akan melihat kembali soal kebijakan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% pada 1 Januari 2025, khususnya bagi komoditas pangan.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan bahwa kenaikan PPN 12% pada awal tahun depan sudah menjadi amanat dari Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan atau UU HPP yang diteken 2021 lalu.

Kemudian, Airlangga menjelaskan bahwa dalam UU tersebut, pemerintah sudah membedakan PPN bagi sektor tertentu yang akan ditanggung negara dan dikecualikan.

“Kemudian akan ada sektor tertentu yang PPN-nya artinya ada yang ditanggung pemerintah, dan ada yang dikecualikan. Tentu nanti kita lihat, terutama bagi komoditas pangan,” ujarnya ketika ditemui di Hotel Hilton Copacabana, Rio de Janeiro, Brasil, Selasa (19/11/2024).

Airlangga menyebut pemerintah pun menyiapkan berbagai perangkat kebijakan yang ada untuk bersiap menghadapi dampak kenaikan PPN tersebut terhadap masyarakat.

“Ya itu kan ada beberapa tools lagi yang bisa didorong,” paparnya.

Airlangga Hartarto
Airlangga Hartarto

Drone Empirit

Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% menuai reaksi negatif dari para warganet.

Hal tersebut terungkap dalam laporan dari Drone Emprit yang diunggah pada akun X resminya, @DroneEmpritOffc pada Rabu (20/10/2024). Adapun, data yang digunakan berasal dari media sosial X, Facebook, TikTok, Instagram, dan YouTube serta pemberitaan media online pada rentang 14-20 November 2024.

Laporan itu menyebutkan, selama periode 14-20 November 2024, isu kenaikan PPN 12% diberikan dalam 1.255 artikel dan 3.908 mentions, serta dibicarakan di media sosial sebanyak 10.548 mention.

“Dari media sosial, isu kenaikan PPN 12% mendapat sentimen negatif sebesar 79%, dengan sentimen positif sebesar 19%, dan netral 2%. Sementara itu, dari sisi media online, isu ini mendapat sentimen negatif 25%, sentimen positif sebesar 45%, dan netral 29%,” jelas laporan tersebut.

———————-

Artikel berjudul “Dampak Berganda PPN 12%, dari PHK hingga Daya Beli Melorot
dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20241121/12/1817832/dampak-berganda-ppn-12-dari-phk-hingga-daya-beli-melorot