JAKARTA — Pemerintah masih mengkaji insentif alternatif untuk menggoda perusahaan multinasional menanamkan modal di Indonesia, lantaran tax holiday/allowance menjadi tidak relevan pasca penerapan pajak minimum global 15%.
Adapun, Indonesia resmi menerapkan pajak minimum global sejak awal tahun ini berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024.
Aturan yang sudah diterapkan puluhan negara lain itu mengharuskan penerapan pajak sebesar 15% bagi perusahaan multinasional dengan pendapatan global tahunan di atas 750 juta euro. Dengan demikian, persaingan antarnegara untuk menetapkan tarif pajak rendah (race to the bottom) demi menarik investasi bisa ditekan.
Masalahnya, selama ini Indonesia merupakan negara yang memberikan insentif pengurangan pajak hingga penghapusan pajak (tax allowance dan tax holiday) kepada perusahaan yang berinvestasi ke Indonesia sehingga tarif efektif pajak penghasilan (PPh) yang dibayarkan sangat rendah atau di bawah 15%.
Penerapan pajak minimum global 15% di Indonesia pun membuat insentif tax allowance dan tax holiday menjadi kurang menarik atau bahkan tak relevan. Oleh sebab itu, pemerintah berupaya mencari jenis insentif lagi agar perusahaan multinasional tetap tertarik berinvestasi di Indonesia.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Bimo Wijayanto menjelaskan insentif pajak yang sedang disiapkan pemerintah bertujuan untuk memperkuat yang sudah ada.
“Jadi hilirisasinya makin bagus, makin dalam, otomatis distribusi manfaatnya juga makin oke. Kita lagi rancang itu,” ujar Bimo di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (11/9/2025).
Kendati demikian, dia belum mau mendetailkan insentif pengganti tax holiday hingga tax allowance itu. Bimo meminta setiap pihak bersabar.
Sementara itu, Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan bahwa pemerintahan masih memantau perkembangan negara lain. Dengan demikian, insentif pengganti yang ditawarkan Indonesia bisa tetap bersaing dibandingkan negara lain.
“Jadi kita akan selalu membandingkan dengan negara-negara lain juga. Karena kita kan pasti harus melihat ketertarikannya dibandingkan banyak negara lain,” jelas Febrio di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai bahwa tidak semua insentif terkena dampak penerapan pajak minimum global. Menurutnya, insentif berbasis pengeluaran (expenditure-based) seperti immediate expensing maupun accelerated depreciation relatif lebih aman dibandingkan insentif berbasis penghasilan (income-based).
Selain itu, instrumen berupa Qualified Refundable Tax Credit (QRTC) juga dinilai lebih kompatibel dengan aturan pajak minimum global. Skema ini memengaruhi besaran Adjusted Global Income alih-alih Adjusted Covered Tax sehingga tidak terlalu menekan tarif efektif perusahaan.
“Di Asean sendiri, Singapura yang bergerak paling cepat, yang pada 2024 lalu sudah mengeluarkan kebijakan QRTC bernama Refundable Investment Credit [RIC]. Saya kira, kita bisa mengikuti langkah dari Singapura tersebut,” tutup Fajry.
Persaingan dengan Negara Lain
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengindikasikan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan ulang penerapan pajak minimum global atau global minimum tax (GMT) 15% terutama di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
Susi tidak menampik bahwa pemerintah sudah resmi menerapkan pajak minimum global mulai tahun ini seperti amanat PMK No. 136/2024. Kendati demikian, Kemenko Perekonomian masih berdiskusi lebih lanjut dengan Kementerian Keuangan terkait aturan itu.
“Terkait dengan GMT, kita sedang diskusi dengan Kemenkeu karena sudah ada PMK-nya. Cuma, kan, sama dengan negara lain, pemberlakuannya kan masih kita pertimbangkan lagi. Negara-negara lain kan juga,” ujar Susi usai konferensi pers perkembangan KEK di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Selasa (9/9/2025).
Susi menjelaskan bahwa negara-negara pesaing Indonesia menawarkan insentif pajak yang menarik di KEK-nya. Padahal, Indonesia juga tetap ingin menarik investasi asing lewat KEK.
Dia merincikan, KEK di Thailand menawarkan penurunan tarif pajak penghasilan badan (CIT) 20% berdasarkan usahanya; pembebasan pajak usaha; insentif pajak untuk usaha pendukung industri 4.0; insentif maksimum untuk teknologi maju, litbang (R&D), robotika; dan pengurangan pajak investasi 70%—100% selama 5—10 tahun.
Kemudian KEK di Malaysia menawarkan pengurangan pajak investasi 70%—100% selama 5 tahun; insentif reinvestasi 60% hingga 10 tahun berturut-turut; hingga insentif khusus untuk sektor strategis seperti manufaktur, ketahanan pangan, industri hijau.
KEK di Vietnam menawarkan pengurangan pajak penghasilan badan 10% untuk proyek investasi besar, preferensi tarif CIT (10%–17%) hingga 15 tahun, pembebasan pajak 50% hingga 4 tahun, diskon pajak untuk 9 tahun berikutnya, hingga pembebasan bea impor dan masuk.
Lalu KEK di Filipina menawarkan perusahaan ekspor penghapusan pajak penghasilan 4—7 tahun (bisa diperpanjang); pengurangan pajak tambahan hingga 10 tahun (biaya pelatihan, riset, bahan baku); perusahaan domestik dapat penghapusan pajak penghasilan 4—7 tahun; dan pengurangan pajak tambahan selama 5 tahun.
Sementara KEK di India menawarkan insentif untuk perusahaan ekspor berupaya penghapusan pajak penghasilan 4—7 tahun dan tarif pajak penghasilan badan khusus (diskon 5%) atau pengurangan pajak tambahan hingga 10 tahun; perusahaan domestik mendapatkan penghapusan pajak penghasilan 4—7 tahun dan pengurangan pajak tambahan selama 5 tahun.
Sementara itu, luas kawasan KEK di Thailand yang mencapai 622.000 hektare, Malaysia yang capai 2,14 juta hektare, Vietnam yang capai 1,62 Ha, Filipina yang capai 70.476 hektare, dan India yang capai 39.205,73 hektare. Sebagai perbandingan, Indonesia baru mempunyai KEK dengan total luas wilayah 23.797,88 hektare.
“Jadi sebenarnya kalau kita lihat potensi pengembangan KEK kita masih sangat besar, khususnya untuk mendorong pengembangan dari luasan area maupun bentuk-bentuk insentif fiskal maupun non fiskal yang masih bisa kita kembangkan lagi ke depan,” simpul Susi.
———————-
Artikel berjudul “Dilema Pajak Minimum Global 15%, Antara Kepentingan Investasi dan Penerimaan
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20250912/259/1910738/dilema-pajak-minimum-global-15-antara-kepentingan-investasi-dan-penerimaan