Dirjen Bimo Pastikan Fatwa MUI Terbaru soal Pajak Tak Picu Polemik

DENPASAR — Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Bimo Wijayanto menyampaikan bahwa fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait dengan pajak tidak memicu polemik karena sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada. 

Sebagaimana diketahui, Komisi A (Fatwa) Musyawarah Nasional (Munas) XI MUI telah menetapkan lima fatwa yang salah satunya mengatur ihwal pajak. Beberapa di antaranya mengenai barang-barang yang tidak boleh dipungut pajak, seperti halnya kebutuhan primer. 

Bimo mengatakan sebenarnya otoritas pajak telah bertemu dengan MUI pada September 2025. Dia berencana untuk memberikan penjelasan agar nantinya fatwa MUI tidak memicu polemik. 

“Kami akan tabayyun supaya menghindari polemik perbedaan pendapat yang tidak perlu,” terangnya kepada wartawan saat media gathering di Kanwil DJP Bali, Denpasar, Selasa (25/11/2025). 

Menurut Bimo, fatwa teranyar MUI itu tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Misalnya, fatwa yang mengatur soal pajak berkeadilan.

Dia mencontohkan konsep threshold pajak pertambahan nilai (PPN), pembebasan pajak penghasilan (PPh) bagi pengusaha UMKM beromzet di bawah Rp500 juta, serta pemberian insentif PPh final UMKM 0,5% bagi pengusaha beromzet Rp500 juta sampai Rp4,8 miliar setahun.

Di sisi lain, barang konsumtif yang merupakan kebutuhan primer khususnya sembako juga tidak dibebani pajak dalam hal ini PPN. 

“Bahwa daya pikul itu menjadi azas, iya. Jadi, komoditas bahan pokok misalnya untuk PPN, itu juga tidak dikenakan PPN, karena itu komoditas yang merupakan kebutuhan masyarakat banyak, kebutuhan dasar. Jadi, seharusnya bagi kami sih tidak ada polemik,” tuturnya.

Adapun mengenai  pajak bumi dan bangunan perkotaan dan pedesaan (PBB P2) bukan berada di bawah ranah pemerintah pusat. Sebagaimana amanat Undang-Undang (UU) tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD), PBB-P2 adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemda. 

“Bayangan kami ya, misalkan aset itu sekolah, pesantren, kemudian fasilitas rumah sakit yang oleh lembaga-lembaga keagamaan nonkomersial, sepemahaman kami ada fasilitas, ada diskon, ada potongan [tarif PBB]. Jadi, itu pun sudah ada pertimbangan, karena untuk fasilitas-fasilitas yang memang nonprofit untuk keagamaan, untuk sosial, untuk kesehatan, untuk pendidikan itu ada tarif khusus PBB. Hanya memang sudah tidak di kewenangan pemerintah pusat,” jelasnya.

Sebelumnya, Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI Prof KH Asrorun Ni’am Sholeh menyampaikan fatwa tentang Pajak Berkeadilan menegaskan bahwa bumi dan bangunan yang dihuni tak layak dikenakan pajak berulang. 

Ketua MUI Bidang Fatwa ini menambahkan fatwa Pajak Berkeadilan ditetapkan sebagai tanggapan hukum Islam tentang masalah sosial yang muncul akibat adanya kenaikan PBB yang dinilai tidak adil. 

“Sehingga meresahkan masyarakat. Fatwa ini diharapkan jadi solusi untuk perbaikan regulasi,” katanya, dikutip dari situs resmi MUI. 

Lebih lanjut, Guru Besar Bidang Ilmu Fikih UIN Jakarta ini menegaskan bahwa objek pajak dikenakan hanya kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan atau merupakan kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat). 

“Jadi pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako, dan rumah serta bumi yang kita huni, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak,” tegas Pengasuh Pondok Pesantren An-Nahdlah, Depok, Jawa Barat ini. 

Ni’am menjelaskan, pada hakikatnya pajak hanya dikenakan kepada warga negara yang memiliki kemampuan secara finansial. 

“Kalau analog dengan kewajiban zakat, kemampuan finansial itu secara syariat minimal setara dengan nishab zakat mal yaitu 85 gram emas. Ini bisa jadi batas PTKP,” ujarnya.

———————-

Artikel berjudul “Dirjen Bimo Pastikan Fatwa MUI Terbaru soal Pajak Tak Picu Polemik
dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20251125/259/1931545/dirjen-bimo-pastikan-fatwa-mui-terbaru-soal-pajak-tak-picu-polemik