DJP Jawab Keluhan Aturan Baru Pajak Kripto: Skema PPh Final untuk Kemudahan

JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak alias Ditjen Pajak buka suara menanggapi kekhawatiran pelaku industri aset kripto terkait skema pajak baru yang dinilai bisa menekan volume transaksi, terutama dalam masa transisi.

Staf Ahli Bidang Kepatuhan Pajak Kementerian Keuangan Yon Arsal menegaskan bahwa pilihan penggunaan skema PPh Final atas transaksi penjualan kripto merupakan keputusan kebijakan yang mempertimbangkan kemudahan bagi wajib pajak.

“Ini sebenarnya soal pilihan posisi. Di berbagai negara, baik saham maupun kripto umumnya dikenakan pajak atas keuntungan [capital gain]. Tapi kalau begitu, artinya masing-masing orang harus bisa menilai sendiri, apakah dia untung atau rugi dari setiap transaksi,” ujar Yon dalam media briefing di Kantor Pusat Ditjen Pajak, Jakarta, Kamis (31/7/2025).


Menurutnya, kondisi di Indonesia belum sepenuhnya memungkinkan penerapan pajak berdasarkan keuntungan karena tidak semua pelaku memiliki kemampuan melakukan pencatatan atau pembukuan yang memadai. Oleh karena itu, skema PPh Final dianggap sebagai bentuk penyederhanaan.

Meski demikian, Yon membuka ruang dialog dengan pelaku industri. Dia memastikan bahwa kebijakan ini akan terus dievaluasi seiring dengan perkembangan pasar kripto di Tanah Air.

“Nanti dari waktu ke waktu kita akan terus bicarakan dengan industri. Ketika industrinya sudah lebih matang dan data tersedia secara lengkap, maka kita bisa bergerak ke arah pengenaan pajak atas nominal keuntungan,” tutupnya.

Adapun pemerintah resmi mengubah skema perpajakan atas aset kripto seiring peralihan statusnya dari komoditas menjadi aset keuangan digital. Kebijakan baru ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 50/2025 yang mulai berlaku efektif pada 1 Agustus 2025.


Tanggapi aturan baru itu, CEO Tokocrypto Calvin Kizana menilai penerapan tarif pajak baru aset kripto tentu akan membawa dampak terhadap aktivitas transaksi kripto di dalam negeri, terutama dalam jangka pendek.

Menurutnya, dengan skema PPh final yang tetap dikenakan saat penjualan, baik dalam kondisi untung maupun rugi, ada kemungkinan sebagian investor akan lebih berhati-hati dalam melakukan transaksi, terutama saat pasar dalam kondisi tidak stabil.

“Ini berpotensi menekan volume transaksi dalam periode transisi awal,” katanya kepada Bisnis, Rabu (30/7/2025).

Perbedaan Skema Pajak Kripto antara Ketentuan Lama (PMK 81/2024) dan Aturan Baru (PMK 50/2025):

1. Penjualan Aset Kripto: Tarif Baru Lebih Terarah

Dalam aturan sebelumnya, transaksi penjualan kripto dikenakan PPh Pasal 22 Final dengan dua skema: sebesar 0,1% untuk platform yang terdaftar di Bappebti, dan 0,2% bagi yang tidak. Namun, di bawah PMK terbaru, pemerintah menyederhanakan dan menyeragamkan skema pemajakan. Untuk transaksi di dalam negeri, tarif PPh Pasal 22 ditetapkan sebesar 0,21% dan dipungut langsung oleh platform perdagangan dalam negeri yang ditunjuk sebagai Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE DN).

Sementara itu, transaksi melalui platform luar negeri dikenakan tarif lebih tinggi, yakni 1%. Pungutan dilakukan oleh PPMSE luar negeri atau disetorkan sendiri oleh pengguna. Kebijakan ini dinilai sebagai langkah mendorong pertumbuhan ekosistem kripto domestik dengan membuat perdagangan luar negeri menjadi relatif lebih mahal.

2. Pembelian Kripto Kini Bebas PPN

Perubahan mencolok lainnya terlihat pada aspek pembelian. Jika sebelumnya pembeli dikenakan PPN sebesar 0,11% hingga 0,22% tergantung status platform, kini pembelian aset kripto sepenuhnya dibebaskan dari PPN. Hal ini sejalan dengan pendekatan baru pemerintah yang menyetarakan aset kripto dengan surat berharga, sehingga tidak lagi menjadi objek PPN.

3. Jasa Platform Tak Banyak Berubah

Untuk penyedia jasa platform, aturan pajak tetap mengacu pada ketentuan umum. Baik dalam PMK lama maupun baru, jasa platform dikenai PPN sesuai regulasi berlaku dan PPh dengan skema tarif progresif Pasal 17. Tidak ada pemajakan final yang berlaku di sini.

4. Aktivitas Mining Diperketat

Kegiatan penambangan (mining) kripto turut mengalami penyesuaian. Tarif PPN dinaikkan dari sebelumnya 1,1% menjadi 2,2%. Selain itu, jika sebelumnya penambangan dikenai PPh final sebesar 0,1%, kini pelaku mining harus membayar PPh sesuai tarif umum Pasal 17, tergantung penghasilan yang diperoleh. Ini mencerminkan pendekatan fiskal yang lebih menyeluruh terhadap aktivitas penambangan sebagai usaha komersial.

5. Platform Luar Negeri Kena Pajak Ganda

Penunjukan platform luar negeri juga disesuaikan. Bila sebelumnya mereka hanya ditetapkan sebagai pemungut PPN, kini mereka juga akan ditunjuk sebagai pemungut PPh Pasal 22 sesuai dengan keputusan Dirjen Pajak. Penunjukan ini mempertimbangkan kriteria administratif dan akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan Dirjen Pajak (Perdirjen).

———————-

Artikel berjudul “DJP Jawab Keluhan Aturan Baru Pajak Kripto: Skema PPh Final untuk Kemudahan
dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20250801/259/1898386/djp-jawab-keluhan-aturan-baru-pajak-kripto-skema-pph-final-untuk-kemudahan