DPR Soroti ‘Ilusi Bruto’ Setoran Pajak Purbaya: Bukan Angka Riil!

JAKARTA — Anggota Komisi XI DPR Harris Turino mengkritik keras kinerja penerimaan pajak yang dinilai tidak sejalan dengan narasi optimisme pemerintah.

Harris menyebut kenaikan penerimaan pajak bruto sebesar 1,8% yang kerap disampaikan pemerintah tak berarti apa-apa karena tidak mencerminkan penerimaan riil yang tersedia untuk menopang APBN 2025.

Menurutnya, data terakhir menunjukkan penerimaan pajak neto baru mencapai Rp1.459,03 triliun atau turun 3,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya di Rp1.517,5 triliun.

Dengan capaian yang baru 70,2% dari outlook penerimaan pajak sepanjang tahun sebesar Rp2.077 triliun, Haris menilai ruang fiskal semakin tertekan.

“Yang saya ngeri, target [penerimaan pajak] 2026 kita semua sepakat bahwa ini besarnya Rp2.357,7 triliun atau naik lagi 13,5% dibandingkan dengan kalau kita mencapai target outlook Lapsem. Nah ini menjadi pertanyaan besar,” ujarnya dalam rapat dengan Dirjen Pajak Bimo Wijayanto di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/11/2025).

Masalahnya, jika realisasi penerimaan pajak tahun ini tidak mencapai outlook maka target tahun depan akan semakin sulit tercapai. Misalnya, jika realisasi penerimaan pajak tahun ini hanya mencapai 85% dari outlook maka target tahun depan naik 28,5%.

Kondisi akan semakin memburuk apabila penurunan penerimaan pajak tidak diikuti dengan penyesuaian terhadap belanja. Jika penerimaan pajak tersendat namun belanja terus berjalan maka defisit APBN akan semakin melebar.

Adapun, outlook defisit APBN 2025 sebesar 2,78% terhadap PDB dan defisit APBN 2026 sebesar 2,68% terhadap PDB. Dengan defisit APBN yang mendekati batas 3% terhadap PDB itu, dia menilai ketergantungan fiskal terhadap PPh Badan semakin riskan. 

“Apalagi banyak program-program strategis yang kita tahu perlu pendanaan yang besar,” wanti-wanti legislator dari Fraksi PDI Perjuangan itu.

Harris menyoroti lonjakan restitusi yang menurutnya tidak normal. Berdasarkan paparan, restitusi pajak penghasilan (PPh) Badan melonjak 80%, sementara restitusi pajak pertambahan nilai (PPN) Dalam Negeri naik hampir 24%.

“Ini harus ada penjelasan yang bening dan transparan. Kira-kira apa penyebabnya? Apakah Dirjen Pajak punya early warning system terhadap hal ini?” tanyanya.

Dia mengingatkan bahwa pola yang sama terjadi tahun lalu, ketika peningkatan penerimaan bruto digenjot di akhir tahun namun diikuti tingginya restitusi sehingga penerimaan neto kembali terkoreksi.

“Katakan [penerimaan pajak] bruto-nya nanti naik, tetapi netonya akan susah untuk tercapai karena polanya berulang. Artinya adalah 2026 nanti restitusinya lebih gede lagi,” ujarnya.

Harris juga memberi perhatian khusus pada pelemahan dua sektor dengan kontribusi besar yaitu perdagangan dan pertambangan yang menyumbang 34% total penerimaan pajak. Dalam paparan Ditjen Pajak, sektor perdagangan turun 1,6%, sementara pertambangan merosot 0,7% per Januari–Oktober 2025.

“Direktorat Jenderal Pajak perlu menyajikan elasticity analysis antara pertumbuhan sektoral dan penerimaan pajak. Jangan hanya trend saja,” tegasnya.

Dia turut menyoroti kenaikan PPh Badan bruto sebesar 7,1% yang dinilai tidak bisa dijadikan gambaran kesehatan ekonomi 2025. Menurutnya, pertumbuhan itu lebih disebabkan kinerja korporasi pada 2024 termasuk faktor harga sawit yang sempat tinggi.

Harris menegaskan bahwa Komisi XI DPR membutuhkan bukan sekadar paparan teknis, tetapi strategi konkret dengan analisa risiko, timeline jelas, dan proyeksi realistis.

———————-

Artikel berjudul “DPR Soroti ‘Ilusi Bruto’ Setoran Pajak Purbaya: Bukan Angka Riil!
dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20251124/259/1931331/dpr-soroti-ilusi-bruto-setoran-pajak-purbaya-bukan-angka-riil