JAKARTA – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyoroti capaian rasio perpajakan atau tax ratio di era dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo alias Jokowi yang cenderung menurun bahkan stagnan dibandingkan dengan masa Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Anggota komisi XI DPR dari fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Primus Yustisio menuturkan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) hanya memamerkan keberhasilan penerimaan negara yang melampaui target, namun tidak dengan tax ratio.
Tax ratio, merujuk paparan DJP, cenderung stagnan di level 10% sepanjang pemerintahan Jokowi dari 2014-2024.
“Kalau dibandingkan 10 tahun, pemerintahan Pak Jokowi dibandingkan SBY, apple to apple, itu banyak menurun, tax ratio di pemerintah ini [jadi yang] terendah di pemerintahan SBY,” singgung Primus dalam rapat tersebut, Senin (10/6/2024).
Primus melihat potensi pajak dari kegiatan digital, layak untuk DJP dorong penerimaannya dari kantong tersebut.
Hingga April 2024, DJP baru mencatat adanya 172 pelaku Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) yang melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Hingga 30 April 2024, negara mengantongi Rp24,12 triliun dari sektor usaha ekonomi digital. Jumlah tersebut berasal dari pemungutan PPN PMSE sebesar Rp19,5 triliun, pajak kripto sebesar Rp 689,84 miliar, pajak fintech (P2P lending) sebesar Rp2,03 triliun, dan pajak yang dipungut oleh pihak lain atas transaksi pengadaan barang dan/atau jasa melalui Sistem Informasi Pengadaan Pemerintah (pajak SIPP) sebesar Rp1,91 triliun.
Pernyataan dari Primus pun berdasar. Sebelumnnya Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM UI) mengungkapkan tax ratio terhadap produk domestik bruto (PDB) pada era pertama (2004-2009) pemerintahan SBY, tax ratio mampu tercapai rata-rata 11,56%.
Kemudian pada era kedua (2009-2014), rata-rata tax ratio turun dari periode sebelumnya ke angka 11,04%.
Tren penurunan tersebut nyatanya berlanjut kala Joko Widodo (Jokowi) memimpin. Pada Kabinet Kerja (2014-2019), rasio tersebut turun menjadi 10,2%, tetapi meningkat tipis pada periode kedua Jokowi menjadi 10,3%.
Terakhir pada 2023, rasio pajak Indonesia tercatat sebesar 10,2% atau lebih rendah dari capaian 2022 yang sebesar 10,39%.
Berikut perbandingan rasio pajak Indonesia di era SBY vs Jokowi
Rasio Pajak dari PDB 2004-2022 | |||
---|---|---|---|
Tahun | Capaian Rasio Pajak Era SBY | Tahun | Capaian Rasio Pajak Era Jokowi |
2004 | 12,22% | 2014 | 10,85% |
2005 | 12,51% | 2015 | 10,76% |
2006 | 12,25% | 2016 | 10,36% |
2007 | 12,43% | 2017 | 9,89% |
2008 | 13,31% | 2016 | 10,24% |
2009 | 11,06% | 2019 | 9,76% |
2010 | 10,54% | 2020 | 8,33% |
2011 |
11,16%
|
2021 | 9,12% |
2012 | 11,38% | 2022 | 10,39% |
2013 | 11,29% |
Sumber: Kemenkeu, diolah
———————-
Artikel berjudul “DPR Soroti Tax Ratio Era Jokowi Lebih Rendah Dibandingkan SBY
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20240610/259/1772851/dpr-soroti-tax-ratio-era-jokowi-lebih-rendah-dibandingkan-sby