Ini Penjelasan DJP Soal Kebijakan Perluasan Pertukaran Data

JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak atau DJP tengah memfinalisasi Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) yang memperluas cakupan data keuangan untuk kepentingan perpajakan, baik domestik maupun pertukaran internasional dalam kerangka Automatic Exchange of Information (AEOI). 

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Ditjen Pajak Rosmauli menjelaskan langkah tersebut merupakan penyesuaian terhadap perkembangan teknologi keuangan dan adopsi standar global yang kini menjadi praktik umum di banyak negara.

Perluasan cakupan tersebut, terangnya, meliputi instrumen keuangan digital seperti uang elektronik, dompet digital, dan aset kripto. Dia memaparkan saat ini pergeseran aktivitas ekonomi ke ranah digital membuat data transaksi semakin beragam dan kompleks. 

“Tanpa pembaruan regulasi, data yang diterima DJP berisiko tidak lagi mencerminkan kondisi ekonomi sebenarnya, sehingga menghambat pengawasan, pemetaan risiko, dan optimalisasi penerimaan pajak,” terangnya kepada Bisnis, Minggu (23/11/2025).

Dari sisi pengawasan, lanjutnya, perluasan ini juga penting untuk mempersempit peluang penyembunyian penghasilan atau aset di ekosistem digital. 

Rosmauli menegaskan bahwa akses data yang lebih andal memungkinkan DJP mendeteksi praktik tax avoidance maupun tax evasion secara lebih dini. 

“Pada akhirnya, kebijakan ini ditujukan untuk mendorong peningkatan kepatuhan sukarela dan menjaga fairness sistem perpajakan,” imbuhnya.

Lebih jauh, paparnya, regulasi ini mengacu pada standar internasional yang telah disepakati global, termasuk Amended Common Reporting Standard (CRS) dan Crypto-Asset Reporting Framework (CARF), sebagaimana tercermin dalam G20 Leaders’ Declaration tahun 2022 dan 2023. 

Indonesia, sebutnya, telah berkomitmen mengimplementasikan Amended CRS mulai tahun data 2026, yang pertukaran informasinya dilaksanakan pada 2027. 

Komitmen tersebut telah dikukuhkan melalui penandatanganan Addendum to the CRS MCAA oleh Direktur Jenderal Pajak selaku Competent Authority Indonesia pada 19 November 2024.

Secara keseluruhan, akses data yang lebih lengkap diharapkan dapat menggali potensi penerimaan yang selama ini belum terjangkau, sekaligus memperkuat kredibilitas Indonesia dalam kerja sama perpajakan internasional.

Uang Elektronik

Dia juga menerangkan bahwa dalam konteks penerapan awal RPMK, uang elektronik tidak otomatis menjadi objek pelaporan. Batasan saldo maksimal uang elektronik yang diatur Bank Indonesia saat ini berada pada level Rp20 juta, yang jauh di bawah ambang batas pelaporan global (US$10.000) maupun ambang batas pelaporan domestik (Rp1 miliar). 

“Dengan demikian, instrumen ini belum masuk cakupan pelaporan pada tahun berjalan,” terangnya.

Sementara itu, terkait dengan rupiah digital (CBDC), DJP juga telah berkoordinasi dengan Bank Indonesia mengenai rencana pengaturan Central Bank Digital Currency (CBDC) atau Rupiah Digital. 

BI, lanjutnya, telah menyampaikan bahwa Rupiah Digital masih dalam tahap pengembangan, sehingga belum akan menjadi bagian dari cakupan pelaporan pada 2027.

Dalam proses penyusunan aturan hingga kini DJP berkoordinasi erat dengan OJK, Bank Indonesia, serta berbagai lembaga keuangan.

“Kami secara aktif memberikan asistensi kepada asosiasi lembaga keuangan untuk memastikan seluruh pihak yang wajib lapor siap memenuhi ketentuan yang akan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan,” paparnya. 

———————-

Artikel berjudul “Ini Penjelasan DJP Soal Kebijakan Perluasan Pertukaran Data
dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20251123/259/1931033/ini-penjelasan-djp-soal-kebijakan-perluasan-pertukaran-data