Jokowi Rilis Tax Treaty, Pengemplang Pajak Tidak Bisa Kabur!

 JAKARTA – Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengambil langkah untuk menutup keran praktik penghindaran yang dilakukan perusahaan pengemplang pajak melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 63/2024 terkait pembaruan tax treaty atau perjanjian pajak. 

Beleid tersebut mengatur terkait Perubahan atas Perpres No. 77/2019 tentang Pengesahan  Multilateral Convention to Implement Tax Treaty Related Measures to Prevent Base Erosion and Profit Shifting.

Secara lengkap, aturan tersebut berarti Konvensi Multilateral untuk Menerapkan Tindakan-Tindakan Terkait dengan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) untuk Mencegah Penggerusan Basis Pemajakan dan Pergeseran Laba.  

Pasalnya, pemerintah bersama puluhan yurisdiksi melihat penggerusan basis pemajakan dan penggeseran laba (base erosion and profit shifting/BEPS) merupakan permasalahan yang mendesak. Tidak hanya bagi negara-negara maju, tetapi juga bagi kekuatan ekonomi baru dan negara-negara berkembang. 

Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo menyampaikan Indonesia pada dasarnya telah menandatangi kesepakatan multilateral instrument (MLI). 

Dalam beleid baru ini, lanjutnya, Indonesia memasukkan klausul pencegahan penggerusan basis pajak melalui implementasi BEPS di beberapa perjanjian.  

Pasalnya, sebelum adanya perjanjian ini, pemerintah telah menyepakati perjanjian serupa dengan beberapa negara. 

Teranyar, pemerintah memperluas cakupan yurisdiksi bersama 13 negara, yakni Australia, Belarus, Jerman, Jordan, Kuwait, Mongolia, Morocco, Papua Nugini, Sri Lanka, Indonesia, Ukraine, Singapura, dan UEA. 

“Jadi dengan adanya perpres ini kita bisa menerapkan rencana BEPS untuk mencegah penghindaran pajak,” ujarnya dalam konferensi pers APBN Kita, Kamis (27/6/2024). 

Adapun, tax treaty selama ini bertujuan untuk mencegah penghindaran pajak (tax avoidance) dan pengenaan pajak berganda (double taxation). 

Saat ini banyak tax treaty atau P3B menggunakan asumsi transaksi yang berbasis pada harta berwujud alias intangible assets, karena saat itu belum ada digitalisasi ekonomi.

 

Potensi Celah Baru 

Direktur Eksekutif Pratama Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menuturkan seiring dengan majunya era digital, efektivitas P3B menjadi berkurang. Karena itu, muncul praktik BEPS oleh perusahaan multinasional atau MNE (Multinational Enterprises).

“Cara MNE adalah dengan memanfaatkan kesenjangan pajak [tax gap] di aturan pajak masing-masing negara dan ketidaselarasan pengaturan pajak [tax mismatch],” jelasnya. 

Prianto melihat, perusahaan perlu berhati-hati dalam menyiapkan harga jual atau marjin transaksi berdasarkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (PKKU). 

“Artinya, perusahaan afiliasi harus memiliki pembanding independen ketika mereka akan bertransaksi afiliasi,” jelasnya. 

Pada intinya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mendapat kewenangan untuk menerapkan PKKU jika Wajib Pajak melakukan transaksi afiliasi yang diduga menunda, menurunkan, atau menghindari pajak sesuai ketentuan yang berlaku. 

Bagaimanapun juga, lanjut Prianto, perusahaan pasti berusaha untuk mengefisienkan bisnis mereka. Salah satu bentuk efisiensinya biaya, yakni pembayaran pajak. 

“Jadi, meskipun jalan tikus baru sudah ditutup, untuk saat ini, pasti akan ada celah baru. Alasannya adalah karena peraturan tidak pernah sempurna saat dirumuskan,” tuturnya.

———————-

Artikel berjudul “Jokowi Rilis Tax Treaty, Pengemplang Pajak Tidak Bisa Kabur!
dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20240628/259/1777884/jokowi-rilis-tax-treaty-pengemplang-pajak-tidak-bisa-kabur