JAKARTA — Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-18/PJ/2025 tentang Tindak Lanjut atas Data Konkret dinilai dianggap akan memperkuat proses deregulasi administrasi perpajakan sekaligus memberikan kepastian bagi pelaku usaha.
Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar melihat PER-18/PJ/2025 sebagai kelanjutan deregulasi aturan perpajakan, yang mana proses administrasi perpajakan dibuat menjadi lebih singkat seperti yang diatur dalam aturan di atasnya yaitu PMK No. 15/2025.
“Tentu, dengan jangka waktu pengujian yang lebih singkat, wajib pajak lebih fokus dalam menjalankan usahanya. Selain itu, dengan ditetapkannya waktu pemeriksaan spesifik, hal tersebut akan memberikan kepastian bagi para pelaku usaha,” kata Fahry kepada Bisnis, Senin (6/10/2025).
Dia menjelaskan aturan turunan dari PMK No. 15/2025 tentang Pemeriksaan Pajak tersebut mengatur tindak lanjut terhadap data konkret, yakni bukti transaksi atau data perpajakan yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban pajak wajib pajak.
Data ini mencakup pemanfaatan insentif pajak yang tidak sesuai ketentuan, pengkreditan pajak masukan yang keliru, hingga penghasilan yang belum dilaporkan seperti yang dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (2).
Kemudian, setiap temuan data konkret akan ditindaklanjuti melalui pemeriksaan spesifik, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (2).
Fajry memaparkan, jika merujuk pada aturan di atasnya yaitu PMK No. 15/2025 maka pemeriksaan spesifik memberikan kemudahan administrasi kepatuhan bagi wajib pajak. Dia mencontohkan jangka waktu pengujiannya kini paling lama 10 hari kerja apabila terdapat data konkret yang menyebabkan kurang bayar.
Adapun PER-18/PJ/2025 tentang Tindak Lanjut Data Konkret ini terbit pada 24 September 2025. Data kontret adalah data yang diperoleh atau dimiliki otoritas pajak, yang mencakup faktur pajak yang tidak dilaporkan dalam SPT Masa PPN, bukti potong atau bukti pungut PPh yang tidak dilaporkan, hingga bukti transaksi atau data perpajakan yang dapat digunakan untuk menghitung wajib pajak.
Bukti transaksi atau data perpajakan yang masuk kategori data konkret sebagai berikut:
Pertama, kelebihan kompensasi pada SPT Masa PPN yang tidak didukung dengan kelebihan bayar pada SPT PPN. Kedua, penghitungan kembali pajak masukan sebagai pengurang pajak keluaran oleh WP yang tidak berhak menggunakan pedoman pengkreditan pajak masukan bagi pengusaha kena pajak yang melakukan penyerahan yang terutang dan penyerahan yang tidak terutang pajak.
Ketiga, PPN disetor di muka yang tidak atau kurang dibayar. Keempat, pemanfaatan insentif pajak yang tidak sesuai ketentuan. Kelima, pengkreditan pajak masukan yang tidak sesuai ketentuan.
Keenam, penghasilan yang tidak atau kurang dilaporkan berdasarkan data bukti potong yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak dan/atau kekeliruan sehubungan dengan penggunaan norma penghitungan penghasilan neto.
Ketujuh, data atau keterangan yang bersumber dari ketetapan atau keputusan di bidang perpajakan termasuk putusan atas sengketa penerapan ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang perpajakan, yang bersifat inkrah, yang dapat langsung digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan yang tidak atau kurang dilaporkan oleh WP dalam SPT.
Kedelapan, data atau keterangan yang telah diterbitkan surat permintaan penjelasan atas data atau keterangan; dibuat berita acara permintaan penjelasan atas data dan/atau keterangan yang memuat persetujuan Wajib Pajak atas pemenuhan kewajiban perpajakan dan telah ditandatangani Wajib Pajak, wakil Wajib Pajak, atau kuasa, namun pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut belum atau tidak dipenuhi sampai dengan batas waktu yang telah disetujui oleh Wajib Pajak, yang dapat digunakan untuk menghitung kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
———————-
Artikel berjudul “Kata Pengamat Soal Aturan Pemeriksaan Pajak Terkait Data Kontret
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20251006/259/1917875/kata-pengamat-soal-aturan-pemeriksaan-pajak-terkait-data-kontret