Kepatuhan Masih Rendah, Baru 51% Perusahaan Lapor Pemilik Manfaat

JAKARTA — Tingkat kepatuhan pelaporan terkait dengan kepemilikan manfaat atau beneficial ownership (BO) atas entitas usaha baru mencapai 51,7%.

Pemerintah pun mendorong agar mekanisme deklarasi kepemilikan manfaat dipertebal dengan upaya konfirmasi langsung dan diintegrasikan dengan data pajak hingga penegak hukum.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum (Ditjen AHU Kemenkum) per 14 Oktober 2025 yang diterima Bisnis, total korporasi yang terdata di pangkalan data pemerintah mencapai 3.578.765 entitas. 

Sampai dengan data terbaru itu, tingkat pelaporan baru mencapai 1.853.371 entitas atau 51,7% dari total entitas yang wajib melaporan kepemilikan manfaat. 

Secara terperinci, misalnya jumlah korporasi yang terdata di AHU adalah berbentu perseroan terbatas (PT) yakni 1.475.401 entitas. Namun, yang sudah melapor BO melalui notaris baru 786.192 atau 53,2%. Sementara itu, entitas berbentuk CV yang sudah melapor adalah 554.625 atau 67,8% dari total 816.882 entitas. 

Kemudian, sebanyak 160.999 perseroan perseorangan sudah melapor BO atau 57,1% dari total 281.580 entitas. Adapun koperasi yang sudah melapor BO berjumlah 127.716 atau 37,2% dari total 342.803 entitas. 

Direktur Jenderal AHU Kemenkum, Widodo menyebut pihaknya ingin meningkatkan pelaporan BO oleh korporasi ke depannya.

Salah satu cara baru yang didorong adalah peluncuran sistem BO gateway, di mana data AHU korporasi terintegrasi dengan data dari kementerian/lembaga lain seperti Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hingga Otoritas Jasa Keuangan (OJK). 

Selama ini, terang Widodo, pelaporan BO dilakukan dengan deklarasi secara mandiri atau self-declare melalui notaris. Tidak ada upaya konfirmasi atau verifikasi lebih lanjut, sehingga otoritas menduga terdapat berbagai modus ketidakpatuhan pemilik manfaat. 

“Banyak kejadian kadang-kadang orangnya [pemilik manfaat] enggak terkonfirmasi. Misalnya, ada orang bikin perusahaan terus mencatumkan A sebagai penerima manfaat, dengan alamat ini, nomor telepon ini, email ini, segala macam. Ini tidak terkonfirmasi, ini beberapa kasus yang terjadi,” terangnya saat dihubungi Bisnis, dikutip Kamis (16/10/2025).

Sampai dengan akhir tahun, Ditjen AHU berupaya agar sistem pelaporan BO nantinya bisa terintegrasi dengan berbagai institusi seperti Ditjen Pajak Kemenkeu, OJK, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) hingga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

Widodo menyebut sejatinya saat ini data korporasi di AHU sudah bisa dilihat oleh instansi-instansi tersebut. Upaya konfirmasi BO ini diklaim sudah bisa dimanfaatkan oleh Ditjen Pajak, sehingga mendorong penerimaan pajak lebih tinggi dengan deklarasi BO yang terkonfirmasi. 

“Kemarin Ditjen Pajak berterima kasih, dengan mirroring [data AHU dan pajak] naik pendapatannya menjadi Rp500 miliar lebih. Kami sudah bekerja sama dan dia [Ditjen Pajak] melihat itu sebagai peluang yang bisa terus ditingkatkan,” paparnya.

Adapun dengan sistem BO gateway, pemilik manfaat korporasi bisa dipastikan identitasnya dan bisa dicocokkan dengan data-data pajak, OJK, PPATK hingga penegak hukum. 

“Ada sinkronisasi [dengan] data laporan pajak. Bagi teman-teman penegak hukum juga bisa jelas, oh ternyata yang bersangkutan [pemilik manfaat] ini asetnya di mana-mana. Sehingga ketika terjadi perbuatan melawan hukum dan merugikan keuangan negara ya bisa dibekukan [asetnya] atau ditindaklanjuti dari pertanggungjawaban keuangannya itu,” terang Widodo.

Perusahaan Wajib Lapor

Di sisi lain, Widodo menerangkan bahwa data 3,5 juta korporasi yang berada di pangkalan data AHU masih terus diverifikasi lebih lanjut. Selain mendorong kejelasan kepemilikan manfaat, pemerintah turut memastikan lebih lanjut apabila perusahaan itu masih aktif dan bukan sekadar perusahaan cangkang. 

Salah satu upaya untuk memastikan perusahaan tersebut jelas adalah dengan mewajibkan setiap perusahaan khususnya yang memiliki pendapatan menengah ke atas turut menyampaikan laporan tahunan ke AHU. 

Pada pekan lalu, Senin (6/10/2025), Menteri Hukum Supratman Andi Agtas menyampaikan bahwa akan mulai mensosialisasikan kewajiban bagi perseroan terbatas untuk menyampaikan laporan keuangan serta bukti pembayaran pajaknya kepada Ditjen AHU Kemenkum. 

Supratman menyebut telah berkomunikasi dengan Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak Kemenkeu mengenai hal tersebut. Perusahaan-perusahaan yang akan diwajibkan melapor akan dibedakan juga berdasarkan klasifikasi besaran modalnya. 

Kewajiban itu, terang Supratman, akan mulai diberlakukan mulai tahun depan tepatnya pada satu hingga dua bulan setelah pelaporan SPT yakni April 2026.

“Kewajiban perseroan terbatas adalah melaporkan kepada Kementerian Hukum lewat Dirjen AHU, lewat Sistem Administrasi Badan Hukum dua hal: yang pertama adalah laporan keuangan yang sudah diambil, dan yang kedua bukti pembayaran pajak. Kalau ini tidak dilakukan, maka sistem otomatis akan memblokir perusahaan yang bersangkutan,” terangnya di kantor Kementerian Hukum, Jakarta.

Supratman menitikberatkan bahwa kewajiban itu guna mendorong penerimaan negara dari kewajiban yang belum ditunaikan oleh perusahaan-perusahaan khususnya yang berukuran besar. 

“Ini adalah keupayaan kita semua untuk transparansi, akuntabilitas, tetapi yang lebih penting adalah meningkatkan penerimaan negara yang memang seharusnya negara berhak untuk terima. Tidak membebani kepada dunia usaha, tapi itu adalah kewajiban yang sudah ditentukan di dalam undang-undang,” paparnya. 

———————-

Artikel berjudul “Kepatuhan Masih Rendah, Baru 51% Perusahaan Lapor Pemilik Manfaat
dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20251016/259/1920911/kepatuhan-masih-rendah-baru-51-perusahaan-lapor-pemilik-manfaat