JAKARTA – Gelombang demonstrasi yang meluas di berbagai daerah disebut sebagai cerminan krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah, terutama terkait pengelolaan pajak dan belanja negara.
Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS Deni Friawan menilai legitimasi fiskal pemerintah saat ini berada di titik kritis. Alasannya, banyak kontradiksi dalam pengelolaan fiskal negara.
“Rakyat diminta membayar pajak, membayar iuran, dan menerima efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah. Di sisi lain, pemerintah tampak boros, menambah jumlah kementerian/lembaga, membiarkan rangkap jabatan di BUMN, serta menaikkan gaji dan tunjangan pejabat dan anggota DPR,” ujar Deni dalam media briefing CSIS, Selasa (2/9/2025).
Pengajar di Prasetya Mulya Business School ini mengingatkan bahwa pajak merupakan kontrak sosial antara negara dengan rakyatnya. Dalam kontrak itu, sambungnya, warga negara bersedia membayar pajak ketika mereka yakin bahwa negara akan memberikan timbal balik dalam bentuk pelayanan publik, stabilitas, dan keadilan.
Masalahnya, kontrak sosial itu seakan dilanggar oleh negara dengan berbagai kontradiksi kebijakan pemerintah. Dia pun tidak heran apabila rasa keadilan kian memudar.
“Gelombang protes yang hari ini terjadi itu tidak lain merupakan penolakan atas ketimpangan dan kontrak sosial kita yang hari ini sangat timpang dan tidak adil,” jelas Deni.
Lebih lanjut, dia melihat bahwa beban ekonomi yang semakin berat membuat sensitivitas publik terhadap kebijakan fiskal meningkat. Kenaikan tarif pajak sekecil apa pun kini dirasakan menyesakkan.
Deni mencontohkan, rasa keadilan ekonomi akan semakin memudar ketika harga kebutuhan pokok seperti beras menembus Rp16.000 per kilogram namun pendapatan stagnan.
CSIS mencatat, meski pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 5%, distribusinya masih timpang dengan gini ratio 0,39. Sekitar 60% tenaga kerja juga masih berada di sektor informal, sementara kelas menengah terus tergerus oleh inflasi dan biaya hidup yang meningkat.
Sebagai solusi, CSIS mendorong pemerintah membangun kembali kepercayaan publik dengan menghentikan pemborosan anggaran, mengakhiri privilese elite, dan meningkatkan akuntabilitas serta transparansi belanja negara.
“Kalau ini terus diabaikan, akar permasalahan ini tidak diatasi, risiko krisis ekonomi, delegitimasi negara dan degradasi demokrasi itu akan meningkat. Sejarah telah mengajarkan kita di tahun 97-98 bahwa ketimpangan, kesulitan ekonomi, korupsi, dan lemahnya penegakan hukum itu dapat mengakibatkan krisis multidimensional yang parah dan berlangsung lama,” wanti-wanti Deni.
———————-
Artikel berjudul “Legitimasi Pungutan Pajak Jadi Sorotan di Tengah Gelombang Aksi Protes
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20250902/259/1907881/legitimasi-pungutan-pajak-jadi-sorotan-di-tengah-gelombang-aksi-protes