JAKARTA — Beberapa tahun terakhir, sejumlah lembaga internasional terus mendorong konsensus sistem perpajakan global yang lebih adil. Konsensus itu menjadi penting di tengah tren praktik penghindaran pajak korporasi multinasional ke negara-negara safe haven hingga perkembangan ekonomi digital.
Secara historis, Koordinator Perpajakan European Network on Debt and Development (Eurodad) Tove Maria Ryding menjelaskan bahwa sebenarnya konvensi pajak global sudah menjadi pembahasan selama hampir satu abad, sejak pembentukan League of Nations atau cikal bakal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).
Hanya saja negosiasi tidak jalan ke mana-mana karena negara maju ingin mengatur pajak global sesuai kemauannya. Akhirnya, negara-negara berkembang hanya bisa ikuti aturan yang diterapkan negara maju.
Maria menjelaskan selama ini topik perdebatan antara negara maju dan berkembang adalah tentang pajak perusahaan multinasional. Di satu sisi, negara maju ingin perusahaan-perusahaan multinasional hanya bayar pajak di negara tempat kantor pusatnya berada.
Di sisi lain, negara berkembang ingin perusahaan multinasional membayar pajak di negara tempat aktivitas ekonominya dilakukan.
“Tentu itu karena banyak kantor pusat perusahaan-perusahaan multinasional tersebut ada di negara maju,” kata Maria dalam diskusi The PRAKARSA secara daring, beberapa waktu lalu.
Permasalahan kemudian berkembang usai muncul fenomena tax haven atau surga pajak. Akhirnya perusahaan multinasional banyak memindahkan kantor pusatnya ke negara-negara tax haven yang tidak atau bahkan sangat sedikit memungut pajak perusahaan/badan.
“Itulah mengapa banyak perusahaan multinasional mendapatkan tarif pajak yang sangat sedikit, sering kali kurang dari 1%,” ungkap Maria.
Dua Pilar OECD/G20
Kendati demikian, harapan untuk ciptakan sistem pajak global yang lebih adil itu hampir terwujud usai 139 negara dan yurisdiksi, yang berkontribusi hingga 90% dari total PDB dunia, sepakat untuk bekerja sama mengimplementasikan Solusi Dua Pilar OECD/G20 pada 9 Juni 2023.
Dua pilar pajak global tersebut merupakan bagian dari kerangka kerja yang disebut Inclusive Framework on BEPS (Base Erosion and Profit Shifting). Tujuannya, agar mengurangi praktik pengemplangan pajak global dan menciptakan keadilan perpajakan global di era digital.
Caranya, lewat dua pilar. Pilar 1 mengharuskan alokasi sebagian hak pemajakan atas penghasilan perusahaan multinasional, terkhusus perusahaan jasa digital besar, kepada negara-negara di mana mereka memiliki konsumen atau pengguna—meski pun tak memiliki kantor di negara tersebut.
Misalnya Netflix dan Meta (Facebook, Instagram, WhatsApp), dua perusahaan jasa digital raksasa yang memiliki banyak pengguna di Indonesia. Artinya, dua korporasi tersebut meraup banyak penghasilan dari Indonesia.
Masalahnya, Netflix maupun Meta tidak mempunyai kantor fisik di Indonesia sehingga pemerintah tidak bisa menarik pajak penghasilan (PPh Badan) mereka. Selama ini, pemerintah hanya bisa memajaki Netflix maupun Meta lewat Pajak Pertambahan Nilai Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPN PMSE).
Singkatnya, yang dipajaki hanya produk yang dijual Netflix atau Meta (misalnya biaya berlangganan), sementara penghasilan total dua perusahaan itu tidak terpungut sehingga penerimaan negara tidak maksimal. Pilar 1 diharapkan bisa mengatasi masalah tersebut.
Gedung Netflix Vine Studios di California, Amerika Serikat pada Kamis (3/10/2024). / Bloomberg-Kyle Grillot
Sementara Pilar 2 mengharuskan tarif pajak minimum global sebesar 15% bagi perusahaan multinasional dengan pendapatan global tahunan di atas 750 juta euro. Dengan demikian, persaingan pajak antarnegara (race to the bottom) untuk menetapkan tarif pajak rendah untuk menarik investasi bisa berkurang.
Belakangan, lebih dari 49 negara sudah mulai menerapkan Pilar 2 pajak global itu di peraturan perundang-undangannya, termasuk Indonesia. Per 1 Januari 2025, pajak minimum global 15% berlaku di Indonesia sesuai amanat Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 136/2024.
Sementara Pilar 1 baru berlaku apabila 30% negara yang mewakili 60% induk utama perusahaan grup multinasional (ultimate parent entity/UPE) global telah menerapkannya.
Masalahnya, Dua Pilar pajak global itu terancam batal usai Donald Trump menarik Amerika Serikat (AS) dari konsensus tersebut. Padahal, AS merupakan lokasi banyak induk utama perusahaan grup multinasional.
Bahkan, Trump mengancam beri sanksi ke negara-negara yang kukuh memungut pajak ke perusahaan multinasional asal AS. Ternyata, ancaman Trump itu mujur.
Perkembangan terbaru, negara-negara anggota G7 mendukung sistem baru yang memungkinkan korporasi multinasional asal AS tidak dikenai aturan pajak minimum global 15% yang disepakati dalam Pilar 2 kerangka kerja OECD/G20.
Dukungan tersebut disampaikan dalam pernyataan resmi Kanada selaku Ketua Presidensi G7 2025 pada Minggu (29/6/2025). Pernyataan tersebut menegaskan dukungan atas usulan sistem “side-by-side” yang diajukan oleh Menteri Keuangan AS awal tahun ini.
Dalam sistem ini, perusahaan multinasional asal AS akan dikecualikan dari aturan Income Inclusion Rule (IIR) dan Undertaxed Profits Rule (UTPR), sebagai bentuk pengakuan atas keberadaan aturan pajak minimum domestik di AS yang sudah berjalan.
“Pemahaman bersama ini dibangun berdasarkan analisis sistem pajak minimum masing-masing negara, termasuk mempertimbangkan perubahan terbaru dalam sistem pajak internasional AS seperti dihapusnya Section 899 dari RUU OBBBA oleh Senat,” tulis pernyataan resmi Kementerian Keuangan Kanada, Minggu (29/6/2025).
Menurut G7, pendekatan side-by-side diyakini mampu menjaga capaian penting yang telah diraih melalui kerangka inklusif OECD/G20 dalam menanggulangi praktik penghindaran pajak dan penggerusan basis pajak (base erosion and profit shifting/BEPS).
Berdasarkan pernyataan itu, G7 mengklaim sistem side-by-side akan memberi empat kepastian. Pertama, sepenuhnya mengecualikan kelompok usaha asal AS dari ketentuan IIR dan UTPR atas laba dalam dan luar negeri.
Kedua, menjamin keadilan dan level playing field dengan komitmen untuk mengatasi potensi risiko BEPS. Ketiga, disertai penyederhanaan administratif dalam penerapan Pilar 2.
Keempat, mendorong penyesuaian dalam perlakuan kredit pajak berbasis substansi agar lebih selaras dengan kredit pajak yang dapat dikembalikan.
“Penerapan sistem ini akan memfasilitasi kemajuan lebih lanjut untuk menstabilkan sistem pajak internasional, termasuk dialog yang konstruktif mengenai pajak ekonomi digital dan kedaulatan pajak setiap negara,” klaim Kanada.
Mengenal Sistem Pajak Side-by-Side
Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono menilai sistem side-by-side merupakan kompromi yang tidak keluar dari prinsip dasar konsensus perpajakan internasional.
Dia menjelaskan istilah sistem side-by-side merujuk pada pendekatan perpajakan yang memisahkan perlakuan berdasarkan kategori penghasilan, bukan memperlakukan seluruh pendapatan secara global.
“Artinya, sistem tersebut membedakan perlakuan pajak berdasarkan jenis penghasilan. Masing-masing kategori penghasilan dikenakan aturan penghitungan dan tarif yang berbeda,” ujar Prianto kepada Bisnis, Selasa (1/7/2025).
Dalam konteks global, menurut Prianto, tidak ada sistem perpajakan yang benar-benar ideal. Setiap kesepakatan internasional, termasuk pajak minimum global hingga sistem side-by-side, adalah hasil kompromi antarnegara.
Manajer Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menambahkan bahwa dalam pernyataan resmi Departemen Keuangan AS, usulan pengecualian korporasi asal Negeri Paman Sam lewat sistem side-by-side tidak dimaksudkan untuk menghilangkan fungsi utama pajak minimum global, yakni untuk mencegah BEPS.
“US Treasury menyatakan ada pemahaman bersama bahwa side-by-side system tidak akan menghilangkan fungsi pajak minimum global dalam mengatasi BEPS,” ujar Fajry kepada Bisnis, Senin (30/6/2025).
Meski dalam proposal AS korporasi induk asal AS akan dikecualikan dari ketentuan IIR dan UTPR, dua instrumen utama dalam skema pajak minimum global, pemerintah AS berkomitmen mengantisipasi potensi distorsi dalam persaingan pajak lintas negara.
Fajry mengungkapkan bahwa pendekatan side-by-side system yang diusulkan AS itu memiliki kemiripan dengan model sebelumnya dalam kerja sama pajak internasional seperti FATCA (Foreign Account Tax Compliance Act) milik AS dan CRS (Common Reporting Standard) dari OECD.
“Saya berharap side-by-side system ini akan berakhir seperti FATCA dan CRS, meski AS punya sistem sendiri, keduanya tetap punya peran penting dalam transparansi perpajakan global,” jelasnya.
Dia juga menyoroti bahwa sebelum adanya pajak minimum global, AS sudah lebih dulu mengembangkan sistem GILTI (Global Intangible Low Taxed Income) yang menjadi inspirasi awal dari kesepakatan pajak minimum global saat ini.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pemerintah akan terus melihat perkembangan implementasi sistem pajak global, terutama di tengah ketidakpastian akibat penolakan Presiden AS Donald Trump.
“Perpajakan digital economy akan sangat penting dan kami juga memperhatikan pembicaraan perpajakan global karena ini ketidakpastian juga sangat tinggi karena Amerika,” kata Sri Mulyani dalam rapat dengan Komisi XI DPR, Kamis (3/7/2025).
———————-
Artikel berjudul “Mencari Konsensus Sistem Pajak Global yang Lebih Adil
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20250705/259/1890596/mencari-konsensus-sistem-pajak-global-yang-lebih-adil