OPINI: Badan Penerimaan Negara, Kunci Solusi Fiskal Pemerintah

JAKARTA – Rencana pembentukan Badan Penerimaan Negara (BPN) kini memasuki fase krusial. Setelah bertahun-tahun menjadi wacana sejak era Presiden Joko Widodo, pemerintah Presiden Prabowo Subianto melalui pemutakhiran Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2025 dalam Perpres No. 79/2025 secara eksplisit memasukkan agenda pendirian BPN.

Momentum ini menjadi titik eksekusi nyata reformasi perpajakan dari sekadar optimalisasi teknis menjadi langkah kelembagaan yang lebih radikal. BPN diproyeksikan sebagai lembaga yang memisahkan fungsi penghimpunan penerimaan negara dari Kementerian Keuangan, memberi keleluasaan manajerial untuk merespons dinamika ekonomi dengan cepat.

Namun, langkah ini memantik perdebatan internal. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengaku belum menerima arahan langsung dari Presiden Prabowo terkait pembentukan BPN.

“Itu [Badan Penerimaan Negara] belum, itu belum saya sentuh.” ( 16 September 2025). Ia bahkan menekankan bahwa di banyak negara, otoritas penerimaan tetap berada dalam struktur kementerian. “Kalau kita buat kita sendirian, nanti aneh lagi. Jadi kita akan optimalkan sistem yang ada.” (Kontan.co.id, 8 September 2025).

Meskipun demikian, argumen ini tidak sepenuhnya tepat. Beberapa negara, seperti Peru dengan lembaga SUNAT (Superintendencia Nacional de Aduanas y de Administración Tributaria), berhasil meningkatkan tax ratio setelah membentuk otoritas yang relatif independen.

Konteks di balik urgensi BPN adalah krisis penerimaan negara yang nyata. Data awal 2025 menunjukkan penerimaan pajak turun hingga 30,2% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Penurunan ini menegaskan rapuhnya sistem perpajakan Indonesia, yang terlalu bergantung pada sektor komoditas unggulan seperti batu bara dan minyak sawit. Begitu harga global turun, fiskal negara langsung terguncang.

Selain itu, basis pajak yang sempit, kepatuhan yang rendah, dan digitalisasi yang gagal melalui Core Tax System menambah beban. Alih-alih menjadi solusi, sistem ini menghadapi masalah integrasi data, gangguan teknis, dan minimnya kesiapan infrastruktur sehingga sebagian proses justru kembali ke mekanisme lama.

Sejumlah analisis sebelumnya menyinggung akar persoalan ini. Perluasan basis pajak memang menjadi agenda utama, tetapi keterbatasan struktural dari dominasi sektor informal hingga lemahnya kepatuhan membatasi efektivitas reformasi.

Strategi yang sama terus dipertahankan, namun data menegaskan bahwa ketergantungan pada model lama semakin mem-perlebar kesenjangan fiskal dan ekonomi.

Salah satu akar masalah adalah kelembagaan. Selama ini, otoritas pajak dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Direktorat Jenderal Bea Cukai (DJBC) di bawah Kementerian Keuangan.

Struktur ini mengekang fleksibilitas birokrasi. DJP sulit merancang organisasi, merekrut SDM, atau mengatur anggaran sendiri.

BPN ditawarkan sebagai solusi. Lembaga ini bukan sekadar struktur tambahan, tetapi memberi keleluasaan manajerial agar sistem perpajakan bisa beradaptasi cepat dengan dinamika ekonomi. Namun, otonomi tidak otomatis menjamin efektivitas.

Tanpa transparansi, akuntabilitas, dan mekanisme check and balance, BPN berisiko hanya menjadi birokrasi baru dengan biaya tinggi.

NEGARA LAIN

Pengalaman internasio-nal menunjukkan variasi model yang patut dicermati. Australia tetap mempertahankan Australian Taxation Office (ATO) di bawah Kementerian Keuangan, tetapi dengan keleluasaan penuh dalam anggaran dan manaje-men.

Korea Selatan melalui National Tax Service (NTS) juga relatif independen, dengan fleksibilitas tinggi dalam SDM dan kebijakan. Kenya bahkan membentuk Semi Autonomous Revenue Authority (SARA) yang lebih otonom.

India sebaliknya masih menempatkan lembaga pajaknya dalam struktur birokrasi, sehingga kurang responsif terhadap perubahan. Tidak ada satu model yang sempurna. Peru dengan SUNAT-nya berhasil memperbaiki tax ratio, tetapi beberapa negara lain justru menemukan tantangan koordinasi setelah pemisahan.

Jika Indonesia ingin mengubah krisis penerimaan menjadi momentum reformasi, langkahnya tidak bisa setengah hati. Reformasi pajak hanya akan nyata jika Indonesia mampu mengubah krisis penerimaan menja-di momentum perbaikan menyeluruh.

Upaya perlu dimulai dengan memperluas basis pajak dan mengurangi ketergantungan pada komoditas, sekaligus menggarap potensi dari sektor digital, UMKM, hingga kepemilikan aset besar.

Di sisi lain, digitalisasi harus diperkuat dengan memastikan Core Tax System berjalan stabil, ditopang oleh infrastruktur yang mumpuni, integrasi data lintas lembaga, serta edukasi wajib pajak yang berkesinambungan.

Reformasi juga menuntut otonomi kelembagaan yang lebih memadai melalui BPN, agar manajemen perpajakan lebih lincah tanpa terjebak birokrasi yang berbelit. Penyederhanaan sistem pajak menjadi langkah berikutnya, karena kompleksitas hanya membuka celah bagi praktik penghindaran.

Seluruh proses ini perlu ditu-tup dengan pembangunan transparansi dan akuntabilitas, melalui mekanisme pengawasan kolektif yang melibatkan DPR dan masyarakat sipil, sehingga kepercayaan publik terhadap institusi perpajakan dapat terus diperkuat.

Pembentukan BPN bisa menjadi tonggak sejarah reformasi perpajakan Indonesia. Namun, jika hanya menambah lapisan birokrasi tanpa menyelesaikan akar masalah, risiko kegagalan tetap tinggi.

Reformasi pajak adalah mimpi besar yang menuntut keseriusan politik, keberanian kelembagaan, dan kesiapan teknis. Tanpa kombinasi ketiganya, BPN hanyalah nama baru dari masalah lama.

———————-

Artikel berjudul “OPINI: Badan Penerimaan Negara, Kunci Solusi Fiskal Pemerintah
dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20250919/9/1912793/opini-badan-penerimaan-negara-kunci-solusi-fiskal-pemerintah