JAKARTA — Rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang berencana mengubah skema dana bagi hasil pajak penghasilan alias PPh 21 berdasarkan wilayah domisili karyawan dianggap tidak tepat.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analisys atau CITA Fajry Akbar berpendapat bahwa idealnya, daerah yang memberikan fasilitas atau subsidi adalah daerah yang mendapatkan dana bagi hasil atas PPh 21, yakni daerah yang menjadi wilayah atau lokasi dari tempat kerja atau pemberi kerja.
“Kalau berdasarkan domisili, pasti akan ada spillover effect dari kebijakan tersebut. Salah satunya, missmatch antara kebutuhan dengan penyediaan fasilitas umum,” kata Fajry, Kamis (4/9/2025).
Fajry menuturkan bahwa pemerintah memiliki banyak tugas untuk memastikan aktivitas para pekerja bisa berjalan lancar. Namun upaya pemenuhan fasilitas itu terancam tidak bisa terealisasi karena dana yang berasal dari pajak dialihkan ke daerah domisili.
Selain itu menurutnya, ada potensi diskriminasi dalam pemberian lapangan kerja. Perusahaan atau pabrikan akan terdorong untuk menerima karyawan atau pegawai yang sesuai domisilinya saja.
“Kalau sudah beginikan cuma menciptakan masalah baru. Di daerahnya sulit mencari lapangan kerja, mau cari kerja di kawasan industri tertentu kena diskriminasi.”
Klaim Kemenkeu
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengklaim bahwa rencana penerapan skema pembagian bagi hasil PPh 21 berdasarkan lokasi domisili karyawan jauh lebih adil.
Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu mengatakan bahwa saat ini mekanisme bagi hasil PPh 21 masih mengacu pada lokasi pemotong pajak, bukan domisili karyawan. Hanya saja, pemerintah kini sedang mengkaji perubahan pendekatan tersebut.
“Untuk PPh karyawan atau PPh 21 yang dipotong dan dibagihasilkan ke daerah, selama ini memang mendasarkan diri kepada pemotongnya. Nah kami sekarang saat ini sedang melakukan exercise untuk melakukan bagi hasil berdasarkan domisili dari karyawan bersangkutan,” ujarnya dalam rapat kerja dengan DPD secara virtual, dikutip Rabu (3/9/2025).
Anggito menjelaskan bahwa skema berbasis domisili diyakini akan lebih adil serta menjawab aspirasi daerah yang selama ini meminta keadilan pembagian pajak.
Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan daerah, terutama yang memiliki banyak pekerja namun tidak menjadi pusat pemotongan pajak.
Meski begitu, Anggito menegaskan bahwa PPh Badan tidak akan mengikuti skema baru ini. “Untuk PPh badan tidak dibagihasilkan, jadi pemungut di manapun saja itu tidak mengaruhi aspek bagi hasil pajaknya,” jelasnya.
Adapun mengutip situs resmi Direktorat Jenderal Perbendaharaan (DJPb) Kementerian Keuangan, penyaluran dana bagi hasil PPh 21 dilaksanakan berdasarkan prognosa realisasi penerimaan dalam tahun anggaran berjalan dan dilaksanakan secara kuartalan.
Perinciannya, penyaluran kuartal I sampai dengan kuartal III masing-masing sebesar 20% dari alokasi sementara. Sementara penyaluran kuartal IV didasarkan pada selisih antara pembagian definitif dengan jumlah dana yang telah dicairkan selama kuartal I sampai dengan kuartal III.
Dalam skema yang berlaku saat ini, dana bagi hasil PPh 21 dibagi dengan rincian sebagai berikut: 8% untuk provinsi yang bersangkutan dan 12% untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan.
Sementara PPh 21 untuk kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dibagi dengan rincian sebagai berikut: 8,4% untuk kabupaten/ kota tempat wajib pajak terdaftar dan 3,6% untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang sama besar.
———————-
Artikel berjudul “Pakar Kritik Wacana Bagi Hasil PPh 21 Berbasis Domisili Pekerja
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20250904/259/1908562/pakar-kritik-wacana-bagi-hasil-pph-21-berbasis-domisili-pekerja