Pemerintah Terapkan Pajak Hiburan 40%, Bagaimana Nasib Perhotelan Bali?

JAKARTA – Kenaikan pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) menjadi 40% yang diterapkan dinilai dapat berdampak pada kelangsungan usaha hiburan termasuk perhotelan dan pariwisata, khususnya di Bali.

Head of Advisory Colliers Indonesia, Monica Koesnovagril, mengatakan pemulihan sektor industri perhotelan masih berlangsung pascapandemi. Kenaikan tarif PBJT secara tidak langsung akan mempengaruhi kondisi pariwisata di Bali dan wilayah lainnya.

“Secara umum, ini agak berat karena hotel pada umumnya sekarang lagi recovery setelah pandemi. Saat pandemi sudah hancur-hancuran dan sekarang baru mulai naik, tiba-tiba dihantam dengan pajak 40% rasanya akan berat,” kata Monica, Rabu (10/1/2024).

Terlebih, jumlah kedatangan wisatawan terus mengalami perbaikan. Kunjungan wisatawan ke Pulau Dewata sepanjang Januari-Oktober 2023 tercatat nyaris mencapai 12 juta kunjungan turis asing dan domestik.

Berdasarkan data Colliers, tingkat keterisian hotel di Bali rata-rata 70% secara bulanan. Hal ini didorong momentum libur natal dan tahun baru, di mana terjadi lonjakan wisatawan di Bali.

“Kalau pun orang bilang di Bali baik-baik saja, tapi bagi semua kelas pasti itu akan jadi lebih berat karena artinya kan pengeluaran orang akan jadi lebih tinggi,” tuturnya.

Monica menuturkan, kenaikan pajak hiburan akan menimbulkan kenaikan tarif yang berdampak pada biaya konsumen. Hal ini menjadi tantangan baru bagi pengusaha hotel yang selama ini tengah berusaha menarik minat wisatawan.

“Jadi, rasanya itu akan berpengaruh, tapi seberapa besar pengaruhnya. Nah ini mesti dilihat dulu,” jelasnya.

Untuk diketahui, sepanjang 2020-2023 ada banyak hotel di Bali yang berhenti beroperasi. Setelah pandemi, tak sedikit hotel yang tutup itu kembali buka lantaran kunjungan wisatawan yang terus meningkat sejak 2022.

Diberitakan sebelumnya, pelaku usaha dan pariwisata di Bali merasa kenaikan PBJT menjadi 40% terlalu ekstrem dan memberatkan pelaku usaha yang masuk dalam kategori PBJT.

Wakil Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya, mengatakan kenaikan PBJT kurang tepat karena menyamaratakan besaran pajak SPA dengan pajak hiburan seperti club malam, tempat karaoke.

Padahal, setiap usaha tersebut memiliki segmen konsumen yang berbeda. SPA yang berada di bawah naungan PHRI karena banyak usaha SPA satu paket dengan hotel. Menurut Suryawijaya, kenaikan dari 15% menjadi 40% merupakan kebijakan yang ekstrem dan bisa mematikan usaha SPA.

“Masak dari 15% menjadi 40%, ini kalau kenaikan iya pelan-pelan ojo kesusu. Jangan kagetin usaha dan itu akan mematikan usaha, itu ekstrem. Jadi hati-hati kita kan lagi baru recovery namanya ini baru sembuh dari 2,5 Pandemi Covid-19,” ujar Suryawijaya.

———————-

Artikel berjudul “Pemerintah Terapkan Pajak Hiburan 40%, Bagaimana Nasib Perhotelan Bali?
dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20240110/47/1731051/pemerintah-terapkan-pajak-hiburan-40-bagaimana-nasib-perhotelan-bali