JAKARTA — Beban berat menanti Menteri Keuangan menyusul penerimaan pajak yang tidak sesuai ekspektasi, setidaknya sampai Oktober 2025. Kinerja setoran pajak hanya 70,2% atau sekitar Rp1.459 triliun dari outlook APBN 2025 yang dipatok di angka Rp2.076,9 triliun. Terjadi kontraksi sekitar 3,8% year on year.
Jebloknya setoran pajak hingga Oktober 2025 semakin memperkuat asumsi tentang kemungkinan terjadinya pelebaran shortfall atau selisih antara realisasi dengan outlook penerimaan pajak. Apalagi, kalau mengacu kepada kinerja jenis pajak, mulai dari PPN, PPh Badan, PPh 21, hingga PPh final, semuanya berada di zona merah.
Bisnis mencatat penerimaan pajak 2 bulan menjelang tutup buku selama 5 tahun terakhir, rata-ratanya di kisaran 20,68%. Artinya kalau menggunakan angka rata-rata tersebut, penerimaan pajak akan finish di kisaran 90,9% atau Rp1.869,2 triliun.
Sementara itu, jika dihitung menggunakan rumus realisasi dikali dengan 1/jumlah bulan terakhir dan dikalikan 12 (tahun) atau Rp1.459 triliun x 1/10 x 12, maka realisasi penerimaan pajak kemungkinan berada di kisaran Rp1.750,8 triliun atau di angka 84,2% dari outlook APBN Rp2.076,9 triliun.
Artinya, realisasi pesimistik penerimaan pajak tahun 2025 berada di kisaran angka 84,2% dan opsi optimistiknya 90,9%. Dengan asumsi tersebut, kontraksi peneriman pajak diperkirakan akan berada di angka minus 3,3% sampai dengan minus 9,3%. Jika hal ini terjadi, maka pemerintah memiliki beban yang berat pada tahun depan.
Sekadar catatan, pemerintah dan DPR telah menetapkan target penerimaan pajak tahun 2025 sebesar Rp2.357,7 triliun atau tumbuh 13,5% dengan asumsi outlook penerimaan pajak tahun 2025 di angka Rp2.076,9 triliun.
Namun kalau shortfall melebar di angka asumsi berdasarkan rata-rata tren dan rumus di atas, pertumbuhan penerimaan pajak tahun 2026 bisa menembus angka 26,1% sampai dengan 34,6%. Target ini sangat ambisius dan akan sulit dicapai, karena pada tahun sebelumnya sangat jarang penerimaan pajak tumbuh di atas pertumbuhan alamiahnya.
Tabel Tren Penerimaan Pajak 2024-2025
| Periode | 2024 | 2025 | Pertumbuhan (%) |
| Januari | 149,2 | 88,9 | -40,4 |
| Februari | 269 | 187,7 | -30,2 |
| Maret | 393,9 | 322,6 | -18,1 |
| April | 624,2 | 557,1 | -10,7 |
| Mei | 760,3 | 683,3 | -10,1 |
| Juni | 893,8 | 831,3 | -6,9 |
| Juli | 1045,3 | 990 | -5,2 |
| Agustus | 1196,5 | 1135,4 | -5,1 |
| September | 1354,9 | 1293,5 | -4,5 |
| Oktober | 1517,5 | 1459 | -3,8 |
Sumber: Kemenkeu, diolah
Dalam catatan Bisnis, realisasi penerimaan pajak selalu berada di bawah pertumbuhan alamiahnya. Namun demikian, rumus ini bisa dikecualikan ketika terjadi aliran penerimaan yang sifatnya extraordinary seperti lonjakan harga komoditas, yang memicu limpahan pendapatan ke kas negara.
Pertumbuhan pajak alamiah diukur berdasarkan realisasi pertumbuhan ekonomi dengan inflasi tahunan. Artinya, kalau target tahun ini misalnya, pertumbuhan ekonomi di angka 5,2% dan inflasi di angka 2,8%, seharusnya pertumbuhan penerimaan pajak alamiahnya bisa mencapai 8%.
Namun yang terjadi saat ini justru sebaliknya, penerimaan pajak hingga Oktober 2025 malahan terkontraksi di angka minus 3,8% atau realisasinya jauh di bawah pertumbuhan alamiahnya.
Tren serupa juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya pada tahun 2024, misalnya, realisasi penerimaan pajak tercatat sebesar Rp1.932,4 triliun capaiannya lebih dari 100%. Tetapi pertumbuhannya hanya di angka 3,5%.
Padahal dengan realisasi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,03% dan inflasi 1,57%, pertumbuhan alamiah penerimaan pajak tahun 2024 seharusnya di angka 6,6%.
Namun demikian, simulasi ini tidak berlaku pada tahun 2022-2023, pada dua tahun tersebut terjadi lonjakan penerimaan pajak. Ada dua aspek yang mempengaruhi penerimaan pajak tahun 2022. Pertama, karena baseline penetapan target yang cukup rendah sebagai konsekuensi dari proses pemulihan ekonomi.
Kedua, karena membaiknya harga komoditas baik itu migas maupun komoditas lainnya seperti batu bara. Pada tahun 2022, pertumbuhan penerimaan pajak mencapai 34,27% melampaui pertumbuhan alamiahnya di angka 10,82%. Tahun 2023, tren itu mulai mengalami moderasi sehingga pertumbuhan penerimaan pajak di angka 8,8%.
Adapun untuk tahun 2026, target pertumbuhan alamiah penerimaan pajak seharusnya bisa di angka 7,9% dengan rincian, pertumbuhan ekonomi 5,4% dan inflasi di angka 2,5%. Namun faktanya hingga akhir Oktober 2025, penerimaan pajak masih terkontraksi di angka 3,8%.
Strategi Otoritas Pajak
Sementara itu, Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan memaksimalkan seluruh instrumen untuk mengejar target penerimaan pajak sampai akhir 2025.
Direktur Jenderal Pajak Kemenkeu Bimo Wijayanto menyebut pihaknya masih akan menggali seluruh potensi penerimaan dengan beragam strategi yang sudah dicanangkan. Misalnya, dengan mirroring data internal antarunit Kemenkeu seperti Direktorat Jenderal Bea Cukai maupun Direktorat Jenderal Anggaran (untuk PNBP).
“Kemudian data-data yang akan habis untuk audit dan juga untuk penegakan hukum akan kami selesaikan sampai Desember. Selain itu tentu ada strategi kami untuk penegakan hukum yang multi-door approach. dengan semua aparat penegak hukum, kemudian menggabungkan antara tindak pidana perpajakan, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang,” terang Bimo pada konferensi pers APBN KiTa edisi November 2025, Kamis (20/11/2025).

Kemudian, untuk 2026, otoritas pajak akan fokus memperkuat sistem pelayanan elektronik pajak yakni Coretax. Sistem administrasi perpajakan itu bakal digunakan untuk mengawai kepatuhan pembayaran pajak tahun berjalan maupun tahun-tahun sebelumnya.
Bimo juga mengungkap arahan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa untuk mulai memperluas basis penerimaan pajak, supaya tidak lagi mempraktikkan ‘berburu di kebun binatang’. Perluasan atau ekstensifikasi dilakukan dengan basis data yang ada.
“Apakah itu nanti untuk melalui sistem elektronik misalnya, kemudian juga digital transaction yang lain nanti akan kami lihat sesuai dengan arahan pimpinan,” terang Dirjen Pajak lulusan Taruna Nusantara itu.
Shortfall Lebih Dalam
Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai pencapaian tersebut membuat peluang menembus outlook pada akhir tahun menjadi semakin kecil meski otoritas pajak menyiapkan langkah ekstra.
Fajry menjelaskan bahwa capaian yang selama ini dirujuk pemerintah yakni outlook APBN, sebenarnya lebih rendah dari capaian terhadap target penerimaan pajak. Dia mencatat realisasi Rp1.459,03 triliun baru setara 66,64% dari target penerimaan pajak sepanjang tahun (Rp2.189,3 triliun).
Dia pun mengaku CITA sudah melakukan perhitungan dengan beberapa skenario. Dalam berbagai skenario, hasil terburuk yakni realisasi penerimaan pajak hanya setara 81% dari target APBN 2025. “Ketika skenario realisasi akhir tahun 81%, proyeksi kita untuk Oktober hanya sebesar 64,5%, tidak jauh berbeda dengan realisasi pemerintah yang 66,64%. Kalau terus seperti ini realisasi penerimaan masih belum tembus 84% dari target,” ungkap Fajry kepada Bisnis, Kamis (20/11/2025).
Dia menilai tambahan penerimaan dari strategi Direktorat Jenderal Pajak (DJP)—mulai dari penguatan pertukaran data DJP-Bea Cukai hingga percepatan audit dan penegakan hukum menjelang Desember—tidak akan mampu mendongkrak penerimaan secara signifikan dalam jangka pendek.
“Sinergi DJP dan DJBC itukan sudah dilakukan sedari awal, bahkan kalau tak salah sudah masuk dalam Nota Keuangan RAPBN 2025. Sedangkan penegakan hukum, itukan memerlukan waktu, Ada prosesnya. Dia bukanlah solusi jangka pendek dan kalau kita lihat data penerimaan dari gakkum [penegakan hukum] itu berapa sih?” jelasnya.
Dengan kondisi tersebut, dia menyebut pemerintah kemungkinan kembali mengandalkan pola klasik penarikan penerimaan pada akhir tahun, yang kerap dilakukan melalui Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) kepada wajib pajak. Fajry menegaskan bahwa tanpa perbaikan struktural dan strategi yang lebih kuat, tekanan penerimaan diperkirakan berlanjut hingga akhir tahun. “Saya hanya bisa menyemangati dari jauh. Intinya, kinerja penerimaan pajak masih suram,” katanya.
———————-
Artikel berjudul “Penerimaan Pajak Suram, Beban Berat Menanti Purbaya Tahun Depan
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20251121/259/1930623/penerimaan-pajak-suram-beban-berat-menanti-purbaya-tahun-depan





