JAKARTA — Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebut insentif fiskal saja tidak mampu mengerek pertumbuhan industri. Guyuran insentif perpajakan perlu didukung stimulus lain dari segi regulasi hingga pengurangan ongkos produksi.
Wakil Ketua API David Leonardi mengatakan kinerja manufaktur nasional tidak bisa hanya bertumpu pada insentif fiskal. Selama ini, industri padat karya memang banyak diguyur stimulus, kendati efektivitasnya belum optimal.
“Kebijakan tersebut [insentif fiskal] penting, namun harus berjalan seiring dengan paket kebijakan lain yang mendukung iklim usaha,” jelas David kepada Bisnis, dikutip Minggu (24/8/2025).
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) industri tekstil dan pakaian jadi tumbuh di angka 4,35% (year-on-year/yoy) pada kuartal kedua. Laju pertumbuhannya turun tipis dari periode kuartal I/2025 4,64% yoy. Namun, tumbuh dari 0,03% pada periode kuartal II/2024.
Meski masih tumbuh positif, kinerja sektor tekstil dan produk tekstil (TPT) harus terus dijaga guna menekan laju pemutusan hubungan kerja (PHK) dan penutupan pabrik yang marak terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Dalam hal ini, David menerangkan bahwa tak hanya insentif fiskal, industri juga menantikan deregulasi impor yang didorong oleh pemerintah. Kendati demikian, implementasinya belum terlihat dan masih dinantikan oleh pelaku industri.
“Jika deregulasi impor benar-benar berjalan bersamaan dengan insentif fiskal, daya dorong terhadap pertumbuhan manufaktur akan lebih terasa,” tuturnya.
Di sisi lain, faktor lain juga tidak kalah penting yakni arga dan ketersediaan gas, biaya logistik yang kompetitif. David juga menyebut produsen membutuhkan penghapusan beban puncak listrik merupakan elemen vital yang menentukan daya saing industri TPT.
“Tanpa pembenahan di sektor-sektor tersebut, industri TPT akan sulit untuk kembali menjadi motor penggerak ekonomi,” imbuhnya.
Lebih lanjut, pemerintah akan meningkatkan belanja perpajakan untuk industri pengolahan, maka pihaknya berharap insentif yang diberikan dalam bentuk pengurangan bea masuk dan pajak impor untuk bahan baku yang tidak diproduksi di dalam negeri.
Kemudian, pemberian super deduction tax bagi industri padat karya yang melakukan ekspor, investasi mesin, subsidi bunga kredit atau penjaminan pembiayaan bagi industri kecil-menengah, tax holiday terbatas untuk investasi di sektor hulu seperti serat sintetis dan technical textile.
“Serta dukungan fiskal bagi investasi mesin hemat energi dan ramah lingkungan agar industri TPT bisa memenuhi standar ekspor global,” pungkasnya.
Sebagaimana diketahui, pemerintah kembali menaikkan belanja perpajakan untuk sektor industri pengolahan menjadi Rp141,7 triliun pada 2026 atau naik dari proyeksi tahun ini yang mencapai Rp137,2 triliun.
Kenaikan belanja pajak sektor industri pengolahan telah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2021, insentif pajak yang diberikan pemerintah ke sektor manufaktur mencapai Rp72,3 triliun.
Stimulus yang diberikan meningkat pada 2022 menjadi Rp82,2 triliun, kemudian naik menjadi Rp88,8 triliun pada 2023 dan mencapai Rp98,9 triliun pada 2024.
———————-
Artikel berjudul “Pengusaha Tekstil Butuh Dukungan Regulasi, Tak Cukup Insentif Pajak
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20250824/257/1905103/pengusaha-tekstil-butuh-dukungan-regulasi-tak-cukup-insentif-pajak