Peraturan Presiden Nomor : 14 Tahun 2024

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 14 TAHUN 2024
 
TENTANG

PENYELENGGARAAN KEGIATAN PENANGKAPAN DAN PENYIMPANAN KARBON

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 
Menimbang :

  1. bahwa dalam rangka memenuhi target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan menuju Net Zero Emission Tahun 2060 atau lebih cepat, teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon memiliki peranan penting dalam mereduksi emisi karbon pada kegiatan penghasil emisi;
  2. bahwa Indonesia memiliki potensi besar sebagai wilayah penyimpanan karbon dan berpotensi menjadi lokasi penangkapan di tingkat nasional dan regional sehingga meningkatkan daya tarik investasi dan menciptakan nilai ekonomi dari proses bisnis penangkapan, pengangkutan, dan penyimpanan karbon;
  3. bahwa untuk memberikan landasan dan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam kegiatan penurunan emisi, perlu pengaturan tentang penyelenggaraan kegiatan penangkapan dan penyimpanan karbon;
  4. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Penyelenggaraan Kegiatan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon; 

Mengingat :
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
 

MEMUTUSKAN:

Menetapkan :
PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENYELENGGARAAN KEGIATAN PENANGKAPAN DAN PENYIMPANAN KARBON.
 

BAB I
KETENTUAN UMUM
 
Pasal 1

 

Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan:

  1. Wilayah Kerja adalah daerah tertentu di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia.
  2. Karbon adalah karbon dioksida (CAS 124-38-9) dengan spesifikasi konsentrasi tertentu yang berasal dari emisi yang ditangkap dan diproses dengan berbagai teknologi dengan memperhatikan standar dan kaidah keteknikan yang baik, yang berasal dari kegiatan usaha hulu Minyak dan Gas Bumi, pembangkit listrik, industri, dan kegiatan penghasil emisi lainnya dari domestik atau luar negeri dengan tujuan untuk diinjeksikan ke zona target injeksi.
  3. Wilayah Izin Penyimpanan Karbon adalah wilayah tertentu di wilayah Indonesia untuk penyelenggaraan penangkapan dan penyimpanan Karbon.
  4. Zona Target Injeksi yang selanjutnya disingkat ZTI adalah sistem batuan dalam formasi geologi mencakup lapisan zona penyimpanan, lapisan zona penyangga, lapisan zona kedap dan perangkap geologi yang mampu menampung Karbon yang diinjeksikan, secara aman dan permanen serta memenuhi standar keamanan lingkungan.
  5. Izin Eksplorasi adalah izin yang diberikan oleh pemerintah untuk melakukan eksplorasi ZTI di Wilayah Izin Penyimpanan Karbon melalui kegiatan akuisisi data, pengeboran, studi bawah permukaan, dan mitigasi risiko kebocoran ZTI.
  6. Izin Operasi Penyimpanan adalah izin yang diberikan oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan injeksi dan penyimpanan Karbon di Wilayah Izin Penyimpanan Karbon.
  7. Izin Transportasi Karbon adalah izin yang diberikan Pemerintah untuk pengangkutan Karbon ke titik serah lokasi injeksi.
  8. Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.
  9. Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi.
  10. Minyak dan Gas Bumi adalah Minyak Bumi dan Gas Bumi.
  11. Nilai Ekonomi Karbon yang selanjutnya disingkat NEK adalah nilai terhadap setiap unit emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari kegiatan manusia dan kegiatan ekonomi.
  12. Penangkapan dan Penyimpanan Karbon atau Carbon Capture and Storage yang selanjutnya disingkat CCS adalah kegiatan usaha yang mencakup penangkapan Karbon dan/atau pengangkutan Karbon tertangkap, penginjeksian dan penyimpanan Karbon ke ZTI dengan aman dan permanen sesuai dengan kaidah keteknikan yang baik.
  13. Penangkapan Karbon adalah kegiatan usaha penangkapan dan pemrosesan Karbon dengan spesifikasi tertentu untuk selanjutnya diangkut dengan moda pengangkutan tertentu.
  14. Pengangkutan Karbon adalah kegiatan usaha yang mencakup pengangkutan Karbon dari fasilitas penangkapan dan/atau pemrosesan dengan moda pengangkutan sampai dengan titik serah injeksi Karbon.
  15. Penyimpanan Karbon adalah kegiatan usaha penginjeksian dan penyimpanan Karbon ke ZTI dengan aman dan permanen.
  16. Storage Akuifer Asin adalah formasi batuan di bawah permukaan yang bersifat porous dan permeable dan mengandung air tanah dengan kandungan garam atau mineral terlarut, dan tidak dimanfaatkan untuk konsumsi dan untuk keperluan lain.
  17. Kebacoran adalah perpindahan Korban keluar dari ZTI dan/atau pengangkutan.
  18. Integritas Sumur adalah kemampuan mencegah Kebocoran pada pipa selubung, pipa sembur, penyekat, kepala sumur dan/atau christmas tree pada sumur injeksi, sumur produksi, atau sumur pengawasan.
  19. Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (Measurement, Reporting, and Verification) yang selanjutnya disingkat MRV adalah kegiatan untuk memastikan data dan/atau informasi aksi mitigasi dan aksi adaptasi telah dilaksanakan sesuai dengan tata cara dan/atau standar yang telah ditetapkan serta dijamin kebenarannya.
  20. Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi.
  21. Eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di Wilayah Kerja yang ditentukan.
  22. Eksplorasi ZTI adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai potensi ZTI Korban di wilayah yang ditentukan.
  23. eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan Minyak dan Gas Bumi dari Wilayah Kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.
  24. Kontrak Kerja Sama adalah kantrak bagi hasil atau bentuk kontrak kerja sama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
  25. Depleted Reservoir Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut Depleted Reservoir adalah reservoir Minyak dan Gas Bumi yang telah mengalami penurunan tekanan reservoir atau cadangan hidrokarbon akibat produksi Minyak dan Gas Bumi serta tidak dapat diproduksikan lagi secara ekonomis dengan teknologi yang ada saat ini.
  26. Monitoring adalah proses atau kegiatan memeriksa, mengawasi, mengamati, mengukur, atau menentukan status suatu sistem secara terus-menerus atau berulang-ulang untuk mengidentifikasi perubahan dari rona awal atau perbedaan dari tingkat kinerja yang diharapkan.
  27. Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang selanjutnya disebut SKK Migas adalah pelaksana penyelenggaraan pengelolaan Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi di bawah pembinaan, koordinasi, dan pengawasan Menteri.
  28. Badan Pengelola Migas Aceh yang selanjutnya disingkat BPMA adalah suatu badan pemerintah yang dibentuk untuk melakukan pengelolaan dan pengendalian bersama Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas Bumi yang berada di darat dan laut di wilayah kewenangan Aceh (0 sampai dengan 12 mil laut).
  29. Kontraktor adalah Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang ditetapkan untuk melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi pada suatu Wilayah Kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama dengan SKK Migas atau BPMA.
  30. Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus-menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
  31. Bentuk Usaha Tetap adalah Badan Usaha yang didirikan dan berbadan hukum di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang melakukan kegiatan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wajib mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku di Republik Indonesia.
  32. Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca yang selanjutnya disingkat SPE GRK adalah surat bentuk bukti pengurangan emisi oleh usaha dan/atau kegiatan yang telah melalui MRV, serta tercatat dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim dalam bentuk nomor dan/atau kode registri.
  33. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia yang dibantu oleh Wakil Presiden dan menteri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  34. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Minyak dan Gas Bumi.

 

BAB II
SKEMA PENYELENGGARAAN CARBON CAPTURE AND STORAGE
 
Pasal 2

(1) Dalam Wilayah Kerja dilaksanakan kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi.
(2) Selain kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan kegiatan penyelenggaraan CCS.
(3) Penyelenggaraan CCS pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Kontraktor berdasarkan Kontrak Kerja Sama.

 

Pasal 3

Penyelenggaraan CCS pada Wilayah Izin Penyimpanan Korban dilaksanakan oleh pemegang izin berdasarkan Izin Eksplorasi dan Izin Operasi Penyimpanan.
 

BAB III
PENYELENGGARAAN CARBON CAPTURE AND STORAGE BERDASARKAN KONTRAK KERJA SAMA
 

Pasal 4

(1) Penyelenggaraan CCS pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) menjadi bagian dari operasi perminyakan berdasarkan Kontrak Kerja Sama.
(2) Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a. kontrak bagi hasil dengan mekanisme pengembalian biaya operasi;
b. kontrak bagi hasil gross split; atau
c. Kontrak Kerja Sama lainnya.
(3) Untuk Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang belum memuat ketentuan CCS dilakukan amandemen Kontrak Kerja Sama.

 

Pasal 5

(1) Untuk melaksanakan kegiatan CCS di Wilayah Kerja berdasarkan Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), Kontraktor melalui SKK Migas atau BPMA sesuai kewenangannya menyampaikan rencana penyelenggaraan CCS.
(2) Rencana penyelenggaraan CCS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan sebagai bagian dari permohonan persetujuan:

a. rencana pengembangan lapangan yang pertama atau perubahan atas rencana pengembangan lapangan yang pertama yang telah disetujui; atau
b. rencana pengembangan lapangan selanjutnya atau perubahan atas rencana pengembangan lapangan selanjutnya yang telah disetujui.
(3) Dalam rangka penyelenggaraan CCS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang mengakibatkan perubahan luas Wilayah Kerja semula, Menteri melakukan koordinasi dengan:

a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tata ruang;
b. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan; dan/atau
c. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
(4) Menteri berdasarkan rekomendasi SKK Migas dapat menyetujui atau menolak rencana penyelenggaraan CCS yang diajukan sebagai bagian dari permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a.
(5) SKK Migas atau BPMA sesuai kewenangannya dapat menyetujui atau menolak rencana penyelenggaraan CCS yang diajukan sebagai bagian dari permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b.
(6) Untuk Wilayah Kerja di wilayah kewenangan Aceh, Menteri dapat menyetujui atau menolak rencana penyelenggaraan CCS yang diajukan sebagai bagian dari permohonan persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a setelah berkoordinasi dengan Gubernur Aceh berdasarkan pertimbangan dari BPMA.
(7) Rencana penyelenggaraan CCS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai sertifikasi kapasitas Penyimpanan Karbon.
(8) Ketentuan lebih lanjut mengenai sertifikasi kapasitas Penyimpanan Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan Peraturan Menteri.

 

Pasal 6

Dalam rangka penyelenggaraan CCS pada Wilayah Kerja dari sumber Karbon di luar Kegiatan Usaha Hulu:

  1. SKK Migas memberikan pertimbangan kepada Menteri atas rencana pengembangan lapangan yang pertama atau perubahan atas rencana pengembangan lapangan yang pertama yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf a; atau
  2. SKK Migas memberikan persetujuan atas rencana pengembangan lapangan selanjutnya atau perubahan atas rencana pengembangan lapangan selanjutnya yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) huruf b.

 

Pasal 7

(1) Penyelenggaraan CCS sebagai bagian dari rencana pengembangan lapangan atau perubahannya yang telah disetujui sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) ditindaklanjuti dengan amandemen Kontrak Kerja Sama.
(2) Amandemen Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk ketentuan mengenai tanggung jawab Kontraktor atas penyelenggaraan CCS.
(3) Kontraktor mengusulkan secara tertulis persetujuan amandemen Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Menteri melalui SKK Migas.
(4) Terhadap usulan amandemen Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3), SKK Migas melakukan evaluasi aspek teknis, ekonomi, operasi, keselamatan dan lingkungan, dan penutupan kegiatan untuk memberikan pertimbangan kepada Menteri.
(5) Menteri memberikan persetujuan atau penolakan amandemen Kontrak Kerja Sama sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berdasarkan pertimbangan SKK Migas.
(6) Khusus di wilayah kewenangan Aceh, Menteri berdasarkan pertimbangan Gubernur Aceh dapat menyetujui amandemen Kontrak Kerja Sama yang diusulkan Kontraktor melalui BPMA.

Pasal 8

(1) Kontraktor dapat melakukan pemanfaatan Depleted Reservoir atau Storage Akuifer Asin yang berada di Wilayah Kerjanya untuk penyelenggaraan CCS.
(2) Penghasil emisi dapat memanfaatkan fasilitas operasi CCS yang dioperasikan oleh Kontraktor, sepanjang fasilitas memenuhi kelayakan:

a. teknis;
b. keekonomian; dan
c. keamanan operasi.
(3) Pemanfaatan fasilitas operasi CCS oleh penghasil emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam hal Karbon bersumber dari luar Kegiatan Usaha Hulu, bagian kegiatan CCS yang merupakan kegiatan operasi perminyakan dimulai dari titik serah injeksi Karbon di Wilayah Kerja Kontraktor.
(5) Dalam hal ZTI pada Wilayah Kerja meluas ke luar Wilayah Kerja dan dapat dimanfaatkan sebagai tempat Penyimpanan Karbon, Kontraktor melalui SKK Migas dapat mengusulkan perluasan Wilayah Kerja kepada Menteri.
(6) Menteri berdasarkan rekomendasi SKK Migas dapat menyetujui atau menolak usulan perluasan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5).
(7) Sebelum memberikan persetujuan perluasan Wilayah Kerja, terhadap usulan perluasan Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Menteri melakukan koordinasi dengan:

a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tata ruang;
b. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan; dan/atau
c. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
(8) Dalam hal usulan perluasan Wilayah Kerja disetujui sebagaimana dimaksud pada ayat (6), SKK Migas dan Kontraktor melakukan amandemen Kontrak Kerja Sama.

 

BAB IV
PENYELENGGARAAN CARBON CAPTURE AND STORAGE BERDASARKAN IZIN EKSPLORASI DAN IZIN OPERASI PENYIMPANAN

Bagian Kesatu
Umum
 
Pasal 9

(1) Penyelenggaraan CCS pada Wilayah Izin Penyimpanan Karbon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dilaksanakan berdasarkan Izin Eksplorasi dan Izin Operasi Penyimpanan yang diterbitkan oleh Menteri.
(2) Dalam menerbitkan Izin Eksplorasi dan Izin Operasi Penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melimpahkan kewenangannya kepada menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal.
(3) Penyelenggaraan CCS berdasarkan Izin Eksplorasi dapat dilakukan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
(4) Penyelenggaraan CCS berdasarkan Izin Operasi Penyimpanan hanya dapat dilakukan oleh Badan Usaha.
(5) Wilayah Izin Penyimpanan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan area yang dapat berada di:

a. wilayah terbuka;
b. wilayah izin usaha pertambangan; dan/atau
c. Wilayah Kerja.

Bagian Kedua
Penyiapan, Penetapan, dan Penawaran Wilayah Izin Penyimpanan Karbon
 
Pasal 10

(1) Menteri menyiapkan Wilayah Izin Penyimpanan Korban yang akan ditetapkan.
(2) Selain dilaksanakan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyiapan Wilayah Izin Penyimpanan Korban dapat berdasarkan usulan dari Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
(3) Penyiapan Wilayah Izin Penyimpanan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan berdasarkan:

a. penilaian risiko awal; dan
b. evaluasi teknis atas hasil pengolahan data, kegiatan Eksplorasi dan eksploitasi, atau survei umum.
(4) Dalam hal Wilayah Izin Penyimpanan Korban yang disiapkan bertampalan (overlay) atau berada dalam 1 (satu) wilayah dengan Wilayah Kerja dan/atau wilayah izin usaha pertambangan, penyiapan Wilayah Izin Penyimpanan Korban dilakukan dengan kerja sama pemanfaatan data dan/atau pemanfaatan bersama fasilitas permukaan.

 

Pasal 11

(1) Menteri menetapkan Wilayah Izin Penyimpanan Korban dan ketentuan-ketentuan pokok kegiatan usaha CCS yang akan ditawarkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
(2) Dalam rangka penetapan Wilayah Izin Penyimpanan Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri melakukan koordinasi dengan:

a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kehutanan;
b. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang tata ruang; dan/atau
c. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
(3) Selain koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyiapan dan penetapan Wilayah Izin Penyimpanan Karbon diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 12

(1) Menteri melakukan penawaran Wilayah Izin Penyimpanan Karbon kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
(2) Penawaran Wilayah Izin Penyimpanan Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui seleksi terbatas atau lelang dengan berasaskan keterbukaan, keadilan, akuntabilitas, dan persaingan yang sehat.
(3) Seleksi terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap Wilayah Izin Penyimpanan Karbon yang diusulkan oleh Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap.
(4) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang mengusulkan Wilayah Izin Penyimpanan Karbon, mendapatkan hak untuk menyamai penawaran tertinggi (right to match) pada saat dinilai memenuhi kemampuan teknis dan finansial dalam proses evaluasi seleksi terbatas.
(5) Lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan terhadap Wilayah Izin Penyimpanan Karbon yang disiapkan oleh Menteri.
(6) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang mengikuti seleksi terbatas atau lelang harus memiliki:

a. kemampuan teknis yang berkaitan dengan Kegiatan Usaha Hulu, tambang, atau geothermal;
b. kemampuan teknis yang berkaitan dengan pengelolaan bahan berbahaya dan beracun; dan
c. kemampuan finansial untuk menjalankan kegiatan Eksplorasi ZTI dan/atau kegiatan operasi Penyimpanan Karbon pada Wilayah Izin Penyimpanan Karbon.
(7) Dalam hal peserta seleksi terbatas atau lelang merupakan konsorsium Badan Usaha dan/atau Bentuk Usaha Tetap, peserta seleksi terbatas atau lelang harus menyampaikan surat perjanjian konsorsium yang memuat kesepakatan penunjukan Badan Usaha dan/atau Bentuk Usaha Tetap yang bertindak sebagai operator dan non operator.
(8) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang ditunjuk sebagai operator sebagaimana dimaksud pada ayat (7), memiliki wewenang untuk mewakili konsorsium dalam berkomunikasi dan berkoordinasi dengan kementerian atau lembaga terkait dalam pelaksanaan Izin Eksplorasi atau Izin Operasi Penyimpanan.

Pasal 13

(1) Dalam hal terdapat potensi pemanfaatan ZTI pada suatu area di Wilayah Kerja yang tidak diusahakan oleh Kontraktor atau wilayah izin usaha pertambangan yang tidak diusahakan oleh pemegang izin usaha pertambangan, maka:

a. afiliasi Kontraktor;
b. afiliasi pemegang izin usaha pertambangan; atau
c. Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap,

dapat mengusulkan penyelenggaraan CCS kepada Menteri untuk ditetapkan menjadi Wilayah Izin Penyimpanan Karbon.

(2) Wilayah Izin Penyimpanan Karbon yang telah ditetapkan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditawarkan kepada Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap melalui seleksi terbatas.

      
 

Pasal 14

(1) Penetapan Wilayah Izin Penyimpanan Karbon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (1) yang berada di dalam Wilayah Kerja dan/atau wilayah izin usaha pertambangan dilaksanakan dengan mempertimbangkan potensi dampak penyelenggaraan kegiatan CCS terhadap keberlangsungan operasi perminyakan di Wilayah Kerja dan/atau kegiatan Eksplorasi dan produksi di wilayah izin usaha pertambangan yang sudah ada.
(2) Pertimbangan potensi dampak penyelenggaraan kegiatan CCS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh:

a. Kontraktor melalui SKK Migas atau BPMA atas rencana penyelenggaraan CCS di Wilayah Kerjanya; dan/atau
b. pemegang izin usaha pertambangan atas rencana penyelenggaraan CCS di wilayah izm usaha pertambangannya,

kepada Menteri.

 

Pasal 15

(1) Menteri menetapkan pemenang seleksi terbatas atau lelang Wilayah Izin Penyimpanan Karbon dan ketentuan-ketentuan pokok kegiatan usaha CCS.
(2) Pemenang seleksi terbatas atau lelang Wilayah Izin Penyimpanan Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan Izin Eksplorasi oleh Menteri setelah mengajukan permohonan kepada Menteri melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission).
(3) Dalam hal pemenang seleksi terbatas atau lelang berbentuk konsorsium, ketentuan-ketentuan pokok kegiatan usaha CCS dalam Izin Eksplorasi berlaku mengikat untuk masing-masing anggota konsorsium.
(4) Pemenang seleksi terbatas atau lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menunjuk afiliasinya atau membuat entitas baru dengan ketentuan afiliasi atau entitas tersebut dimiliki atau dikendalikan secara langsung oleh pemenang seleksi terbatas atau lelang.
(5) Dalam hal pemenang seleksi terbatas atau lelang berbentuk konsorsium sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat menunjuk salah satu anggota konsorsium menjadi operator yang mewakili anggota konsorsium lainnya atau membentuk 1 (satu) Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap sebagai pemegang Izin Eksplorasi.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan seleksi terbatas dan lelang, evaluasi, dan penetapan pemenang seleksi terbatas dan lelang diatur dalam Peraturan Menteri.

     

Bagian Ketiga
Izin Eksplorasi
 
Pasal 16

(1) Pemenang seleksi terbatas atau lelang mengajukan nomor induk berusaha sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum mengajukan Izin Eksplorasi.
(2) Menteri memberikan Izin Eksplorasi setelah pemenang seleksi terbatas atau lelang memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial.
(3) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi:

a. nomor induk berusaha;
b. nama dan akta perusahaan yang akan mengajukan permohonan izin, dengan ketentuan entitas tersebut dimiliki atau dikendalikan secara langsung oleh pemenang seleksi terbatas atau lelang atau perusahaan induknya;
c. surat permohonan; dan
d. susunan pengurus, daftar pemegang saham, dan daftar pemilik manfaat dari Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap dalam hal terjadi pemutakhiran data.
(4) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:

a. komitmen pasti Eksplorasi ZTI;
b. rencana kerja pelaksanaan komitmen pasti Eksplorasi ZTI;
c. jaminan pelaksanaan komitmen pasti Eksplorasi ZTI;
d. studi mitigasi jalur Kebocoran, pengeboran sumur, dan tes injektivitas formasi;
e. studi konseptual pengembangan Penyimpanan Karbon dan pemilihan konsep pengembangan; dan
f. persyaratan teknis lainnya sesuai dengan ketentuan lainnya.
(5) Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi persetujuan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
(6) Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit meliputi:

a. bukti penempatan jaminan pelaksanaan komitmen pasti Eksplorasi ZTI; dan
b. surat keterangan fiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

Pasal 17

(1) Izin Eksplorasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) berlaku selama 6 (enam) tahun dan dapat diperpanjang satu kali paling lama 4 (empat) tahun.
(2) Izin Eksplorasi paling sedikit memuat ketentuan mengenai:

a. identitas Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberikan izin;
b. kewajiban pelaksanaan komitmen pasti Eksplorasi ZTI;
c. rencana kerja pelaksanaan komitmen pasti Eksplorasi ZTI;
d. jaminan pelaksanaan komitmen pasti Eksplorasi ZTI;
e. tata cara dan persyaratan pengajuan Rencana Pengembangan dan Operasi (Plan for Development and Operation) ZTI;
f. kewajiban pasca operasi kegiatan Eksplorasi ZTI;
g. jangka waktu izin;
h. kewajiban penyerahan data Eksplorasi ZTI yang diperoleh;
i. kewajiban penerimaan negara bukan pajak kepada Pemerintah; dan
j. pengawasan izin oleh Pemerintah.
(3) Pemegang Izin Eksplorasi dilarang memindahtangankan Izin Eksplorasi.

Pasal 18

(1) Pemegang Izin Eksplorasi wajib mengajukan rencana kerja pelaksanaan komitmen pasti Eksplorasi ZTI untuk mendapatkan persetujuan rencana kerja pelaksanaan komitmen pasti Eksplorasi ZTI dari Menteri.
(2) Pemegang Izin Eksplorasi wajib memperoleh persetujuan rencana kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum melakukan kegiatan Eksplorasi ZTI.
(3) Dalam hal terdapat perubahan kegiatan Eksplorasi ZTI mengakibatkan perubahan ruang lingkup persetujuan lingkungan yang sudah ada, pemegang Izin Eksplorasi harus mendapatkan persetujuan lingkungan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup sebelum melakukan kegiatan Eksplorasi ZTI.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pelaksanaan Izin Eksplorasi diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 19

(1) Saham Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap pemegang Izin Eksplorasi dapat dialihkan secara mayoritas setelah Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap melaksanakan seluruh komitmen pasti Eksplorasi ZTI.
(2) Pengalihan saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan persetujuan Menteri.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan kepemilikan saham Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap pemegang Izin Eksplorasi diatur dengan Peraturan Menteri.

    

Bagian Keempat
Rencana Pengembangan dan Operasi (Plan for Development and Operation)
 
Pasal 20

(1) Dalam hal berdasarkan kegiatan Eksplorasi ZTI terbukti memiliki potensi kapasitas Penyimpanan Karbon yang komersial, pemegang Izin Eksplorasi mengajukan persetujuan Rencana Pengembangan dan Operasi (Plan for Development and Operation) ZTI kepada Menteri.
(2) Rencana Pengembangan dan Operasi (Plan for Development and Operation) ZTI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kajian paling sedikit terdiri atas:

a. geologi;
b. geofisika;
c. petrofisika;
d. teknik reservoir;
e. geomekanik;
f. geokimia;
g. hidrogeologi;
h. operasi pengolahan, pengangkutan, injeksi, dan penyimpanan;
i. keekonomian;
j. keteknikan;
k. keselamatan dan lingkungan;
l. evaluasi dan mitigasi risiko;
m. penutupan; dan
n. Monitoring dan MRV.
(3) Kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan untuk memperoleh kelayakan rencana penyelenggaraan CCS sesuai dengan standar yang diacu dan kaidah keteknikan yang baik.
(4) Hasil kajian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit terdiri atas:

a. dokumen teknis rencana penyelenggaraan penangkapan, transportasi, dan operasi Penyimpanan Karbon;
b. estimasi kapasitas Penyimpanan Karbon yang dilakukan melalui pemodelan statis dan dinamis pada ZTI;
c. kedalaman dan ketebalan ZTI;
d. konduktivitas hidrolik ZTI;
e. komposisi Karbon dan dampaknya terhadap ZTI;
f. integritas ZTI yang memuat paling sedikit:

1. batas tertinggi tekanan injeksi di lubang sumur yang tidak melampaui batas tekanan rekah formasi (fracture gradient/minimum in situ stress) berdasarkan fault regime; dan
2. studi geomekanika dan geokimia batuan.
g. Integritas Sumur pada sumur injeksi, sumur pengawasan, dan/atau sumur tinggal (abandoned well) jika ada di sekitarnya yang berpotensi menjadi sumber Kebocoran;
h. laju alir dan tekanan injeksi;
i. jangka waktu injeksi;
j. desain dan rencana pelaksanaan pengeboran sumur injeksi;
k. kenaikan tekanan ZTI akibat kegiatan injeksi;
l. kebutuhan dan spesifikasi fasilitas permukaan untuk kegiatan operasi injeksi;
m. integritas fasilitas permukaan yang diperlukan;
n. pemodelan dinamis sebaran Karbon selama dan setelah periode tertentu injeksi;
o. estimasi pengurangan Karbon;
p. analisis keekonomian;
q. penilaian dan mitigasi risiko untuk penyimpanan jangka panjang termasuk dampak lingkungan, sosial, dan keterlibatan publik mengacu pada persetujuan lingkungan;
r. rencana pemanfaatan kapasitas Penyimpanan Karbon; dan
s. rencana Monitoring dan MRV yang memuat tahap persiapan kegiatan sampai dengan setelah penutupan kegiatan CCS, yang disusun sesuai dengan standar yang diacu dan kaidah keteknikan yang baik.
(5) Rencana Pengembangan dan Operasi (Plan for Development and Operation) ZTI harus disertai sertifikasi kapasitas Penyimpanan Korban.
(6) Sumur injeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf g dan huruf j terdiri atas:

a. sumur baru yang khusus diperuntukkan sebagai sumur injeksi; atau
b. sumur lama yang dikonversikan menjadi sumur injeksi.

 

Pasal 21

(1) Menteri memberikan persetujuan atau penolakan terhadap Rencana Pengembangan dan Operasi (Plan for Development and Operation) ZTI.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan Rencana Pengembangan dan Operasi (Plan for Development and Operation) ZTI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

 
 

Pasal 22

(1) Dalam rangka pelaksanaan sertifikasi kapasitas Penyimpanan Karbon, Menteri menunjuk atau menetapkan badan, lembaga, atau institusi independen dengan kriteria paling sedikit:

a. sumber daya yang memiliki kompetensi di bidang geosains, teknik reservoir, geomekanik, dan pengalaman dalam proyek CCS; dan
b. memiliki peralatan pendukung untuk melakukan pemodelan geologi, geomekanik, dan simulasi reservoir.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penunjukan badan, lembaga, atau institusi independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Bagian Kelima
Izin Operasi Penyimpanan
 
Pasal 23

(1) Izin Operasi Penyimpanan hanya dapat diberikan kepada Badan Usaha.
(2) Dalam hal pelaksana Izin Eksplorasi berbentuk konsorsium, maka ketentuan-ketentuan pokok kegiatan usaha CCS dalam Izin Operasi Penyimpanan berlaku mengikat untuk masing-masing anggota konsorsium.
(3) Pemegang Izin Eksplorasi yang telah memperoleh persetujuan Rencana Pengembangan dan Operasi (Plan for Development and Operation) ZTI, berhak mendapatkan Izin Operasi Penyimpanan setelah mengajukan permohonan kepada Menteri melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik (online single submission).
(4) Dalam hal pemegang Izin Eksplorasi yang telah memperoleh persetujuan Rencana Pengembangan dan Operasi (Plan for Development and Operation) ZTI merupakan Bentuk Usaha Tetap, Bentuk Usaha Tetap tersebut harus membentuk Badan Usaha untuk mendapatkan Izin Operasi Penyimpanan.
(5) Saham Badan Usaha yang dibentuk oleh Bentuk Usaha Tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (4) seluruhnya dimiliki oleh Bentuk Usaha Tetap pemegang Izin Eksplorasi.

  

Pasal 24

(1) Menteri memberikan Izin Operasi Penyimpanan setelah pemegang Izin Eksplorasi memenuhi persyaratan administratif, teknis, lingkungan, dan finansial.
(2) Persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. nomor induk berusaha;
b. nama dan akta perusahaan yang akan mengajukan permohonan izin, dengan ketentuan entitas tersebut dimiliki atau dikendalikan secara langsung oleh pemegang Izin Eksplorasi;
c. surat permohonan;
d. susunan pengurus, daftar pemegang saham, dan daftar pemilik manfaat dari Badan Usaha dalam hal terjadi pemutakhiran data; dan
e. persyaratan dasar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:

a. peta usulan Izin Operasi Penyimpanan yang dilengkapi dengan koordinat berupa garis lintang dan garis bujur sesuai dengan sistem informasi geografis yang berlaku secara nasional;
b. laporan lengkap tahap kegiatan Eksplorasi ZTI; dan
c. persetujuan Rencana Pengembangan dan Operasi (Plan for Development and Operation) ZTI oleh Menteri.
(4) Persyaratan lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:

a. persetujuan lingkungan; dan
b. dokumen rencana operasi.
(5) Persyaratan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit meliputi:

a. bukti penempatan jaminan pelaksanaan operasi Penyimpanan Karbon;
b. laporan keuangan 3 (tiga) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik; dan
c. surat keterangan fiskal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.

 

Pasal 25

(1) Izin Operasi Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) diberikan paling lama 30 (tiga puluh) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 (dua puluh) tahun untuk setiap kali perpanjangan dengan mempertimbangkan kapasitas penyimpanan.
(2) Izin Operasi Penyimpanan paling sedikit memuat ketentuan:

a. identitas pemegang Izin Operasi Penyimpanan;
b. pemanfaatan kapasitas Penyimpanan Karbon;
c. jangka waktu izin;
d. rencana kerja penginjeksian per tahun;
e. kaidah keteknikan injeksi;
f. target pengurangan emisi Karbon;
g. hak pemegang Izin Operasi Penyimpanan mendapatkan imbal jasa penyimpanan (storage fee);
h. pembayaran kewajiban penerimaan negara bukan pajak (royalti) dan penerimaan negara bukan pajak lainnya kepada Pemerintah dan kewajiban perpajakan;
i. kegiatan Monitoring dilakukan pada saat pengumpulan data awal (rona awal), selama operasi Penyimpanan Karbon, dan selama 10 (sepuluh) tahun sejak penutupan;
j. pengawasan izin oleh Pemerintah (sesuai kewenangan Menteri);
k. audit termasuk audit lingkungan hidup;
l. pengelolaan aset;
m. jaminan pelaksanaan operasi Penyimpanan Karbon untuk penjaminan pendanaan atas kelangsungan operasi dan keperluan dana untuk perbaikan kejadian yang diperlukan selama operasi;
n. jaminan pasca operasi;
o. pengembalian Wilayah Izin Penyimpanan Karbon dan kegiatan pasca operasi; dan
p. kewajiban penyerahan data operasi Penyimpanan Karbon yang diperoleh.
(3) Pemegang Izin Operasi Penyimpanan dilarang memindahtangankan Izin Operasi Penyimpanan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara permohonan, persyaratan, dan evaluasi perpanjangan jangka waktu Izin Operasi Penyimpanan diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 26

(1) Pemegang Izin Operasi Penyimpanan wajib mengajukan rencana kerja tahunan pelaksanaan kegiatan operasi Penyimpanan Karbon untuk mendapatkan persetujuan Menteri.
(2) Pemegang Izin Operasi Penyimpanan wajib memperoleh persetujuan dari Menteri atas rencana kerja tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sebelum melakukan kegiatan operasi Penyimpanan Karbon.
(3) Dalam hal terdapat perubahan kegiatan operasi Penyimpanan Karbon mengakibatkan perubahan ruang lingkup persetujuan lingkungan yang sudah ada, pemegang Izin Operasi Penyimpanan harus mendapatkan persetujuan lingkungan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup sebelum melakukan kegiatan operasi Penyimpanan Karbon.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian dan pelaksanaan Izin Operasi Penyimpanan diatur dalam Peraturan Menteri.

Pasal 27

(1) Saham Badan Usaha pemegang Izin Operasi Penyimpanan dapat dialihkan secara mayoritas setelah mendapat persetujuan Menteri dengan mempertimbangkan keberlanjutan kegiatan operasi Penyimpanan Karbon yang aman secara permanen sesuai dengan ketentuan dalam Izin Operasi Penyimpanan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengalihan kepemilikan saham Badan Usaha pemegang Izin Operasi Penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

    

BAB V
PELAKSANAAN PENYELENGGARAAN CARBON CAPTURE AND STORAGE MELALUI IZIN OPERASI PENYIMPANAN DAN KONTRAK KERJA SAMA

Bagian Kesatu
Umum
 
Pasal 28

(1) Pelaksanaan penyelenggaraan CCS di Wilayah Izin Penyimpanan Karbon dilakukan setelah Badan Usaha mendapatkan Izin Operasi Penyimpanan.
(2) Pelaksanaan penyelenggaraan CCS di Wilayah Kerja dilakukan setelah Kontraktor mendapatkan persetujuan atas usulan rencana pengembangan lapangan atau perubahannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
(3) Penyelenggaraan CCS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan paling sedikit melalui:

a. mitigasi risiko untuk penyimpanan jangka panjang;
b. penanganan dampak lingkungan, sosial, dan keterlibatan publik sesuai dengan persetujuan lingkungan;
c. proses perekayasaan, pengadaan, dan konstruksi;
d. commissioning dan operasi kegiatan CCS;
e. pelaksanaan manajemen keselamatan operasi;
f. pengelolaan aspek lingkungan;
g. pelaksanaan kegiatan tanggap darurat;
h. pelaksanaan kegiatan perbaikan dan pemeliharaan;
i. pelaksanaan Monitoring dan MRV pada pengumpulan data awal dan selama operasi;
j. penutupan kegiatan CCS; dan
k. pelaksanaan Monitoring pasca penutupan.

  

Bagian Kedua
Penangkapan Karbon
 
Pasal 29

(1) Penangkapan Karbon dilakukan melalui:

a. pemisahan Karbon pada fasilitas produksi Minyak dan Gas Bumi;
b. Penangkapan Karbon hasil pembakaran;
c. tangkapan pra-penyalaan;
d. tangkapan pembakaran oxyfuel; dan/atau
e. cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(2) Selain Karbon yang ditangkap melalui cara-cara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penangkapan Karbon berupa karbon dioksida dapat berasal dari atmosfer dengan menggunakan teknologi direct air capture.
(3) Karbon yang ditangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berasal dari Penangkapan Karbon dari kegiatan pemrosesan pada fasilitas hulu Minyak dan Gas Bumi, kilang pada kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi, kegiatan pembangkit listrik, kegiatan industri, dan kegiatan penghasil emisi lainnya, baik dari dalam dan luar negeri.
(4) Karbon yang ditangkap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diproses dan dilakukan pemurnian lebih lanjut dengan mengikuti kaidah keteknikan yang baik untuk memenuhi spesifikasi tertentu agar dapat ditransportasikan dan diinjeksikan dengan aman.
(5) Spesifikasi tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam standar nasional dan/atau standar internasional yang diakui oleh Menteri.

 

Bagian Ketiga
Pengangkutan Karbon
 
Pasal 30

(1) Kegiatan usaha Pengangkutan Karbon dilaksanakan berdasarkan Izin Transportasi Karbon setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup.
(2) Pengangkutan Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan:

a. pipa;
b. truk;
c. kapal; dan/atau
d. cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
(3) Mekanisme Pengangkutan Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan aspek teknis, keselamatan, keamanan, dan lingkungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Kegiatan usaha Pengangkutan Karbon dapat dilaksanakan oleh:

a. Badan Usaha; atau
b. pemegang Izin Operasi Penyimpanan,

setelah mendapatkan izin dari Menteri dan/atau menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi.

(5) Izin Transportasi Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 31

(1) Izin Transportasi Karbon untuk Pengangkutan Karbon dengan menggunakan pipa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf a diberikan oleh Menteri setelah mendapatkan persetujuan lingkungan.
(2) Dalam hal Transportasi Karbon untuk Pengangkutan Karbon menggunakan pipa bawah laut, Izin Transportasi Karbon diberikan oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan.
(3) Izin Transportasi Karbon untuk Pengangkutan Karbon dengan menggunakan truk, kapal, dan/atau cara lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d diberikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi setelah mendapatkan rekomendasi pengangkutan dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup.
(4) Izin Transportasi Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 10 (sepuluh) tahun untuk setiap kali perpanjangan.
(5) Izin Transportasi Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diberikan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang paling lama 10 (sepuluh) tahun untuk setiap kali perpanjangan.

Pasal 32

(1) Kegiatan Pengangkutan Karbon yang merupakan bagian dari penyelenggaraan CCS oleh Kontraktor tidak diperlukan Izin Transportasi Karbon dalam hal Pengangkutan Karbon dilakukan:

a. dalam satu Wilayah Kerja yang sama; atau
b. dari Wilayah Kerja ke Wilayah Kerja lain.
(2) Rencana kegiatan Pengangkutan Karbon yang merupakan bagian dari penyelenggaraan CCS oleh Kontraktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan sebagai bagian dari rencana penyelenggaraan CCS.
(3) SKK Migas memberikan persetujuan rencana kegiatan Pengangkutan Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan melakukan pengawasan terhadap kegiatan Pengangkutan Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 33

Dalam hal pemegang Izin Operasi Penyimpanan melakukan kegiatan Pengangkutan Karbon, pemegang Izin Operasi Penyimpanan wajib memiliki Izin Transportasi Karbon.
 

Bagian Keempat
Penginjeksian dan Penyimpanan Karbon

 

Pasal 34

(1) Penginjeksian dan Penyimpanan Karbon dapat dilakukan pada ZTI berupa Depleted Reservoir, Storage Akuifer Asin, atau lapisan batubara.
(2) Penginjeksian dan Penyimpanan Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, standar internasional atau nasional, dan kaidah keteknikan yang baik.
(3) Pemegang Izin Operasi Penyimpanan melakukan kegiatan operasi Penyimpanan Karbon setelah memperoleh persetujuan dari Menteri atas rencana kerja tahunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2).
(4) Kegiatan operasi Penyimpanan Karbon dilakukan oleh pemegang Izin Operasi Penyimpanan setelah memiliki persetujuan lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (3).

  

Bagian Kelima
Kapasitas Penyimpanan Karbon untuk Kebutuhan Domestik
 
Pasal 35

(1) Kapasitas Penyimpanan Karbon diprioritaskan untuk penghasil Karbon domestik.
(2) Kontraktor dan pemegang Izin Operasi Penyimpanan yang menyelenggarakan CCS wajib mengalokasikan sebesar 70% (tujuh puluh persen) dari total kapasitas Penyimpanan Karbon untuk dicadangkan sebagai Penyimpanan Karbon domestik.
(3) Kontraktor dan pemegang Izin Operasi Penyimpanan yang menyelenggarakan CCS dapat mengalokasikan sebesar 30% (tiga puluh persen) dari total kapasitas Penyimpanan Karbon untuk digunakan sebagai Penyimpanan Karbon yang berasal dari luar negeri.
(4) Penyimpanan Karbon yang berasal dari luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (3) hanya dapat dilakukan oleh penghasil Karbon yang melakukan investasi dan/atau terafiliasi dengan investasi di Indonesia.
(5) Dalam hal terdapat kebijakan yang bersifat nasional, alokasi kapasitas Penyimpanan Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dapat dilakukan penyesuaian.
(6) Dalam rangka penyesuaian alokasi kapasitas Penyimpanan Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dibentuk Satuan Togas yang dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang kemaritiman dan investasi.
(7) Ketua Satuan Tugas menetapkan penyesuaian alokasi kapasitas Penyimpanan Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (5) setelah mendapatkan persetujuan Presiden.

BAB VI
PENUTUPAN PENYELENGGARAAN CARBON CAPTURE AND STORAGE
 
Pasal 36

(1) Penutupan penyelenggaraan CCS dilakukan dalam hal:

a. kapasitas Penyimpanan Karbon pada ZTI sudah penuh;
b. tidak terdapat lagi Karbon yang diinjeksikan;
c. jangka waktu Izin Operasi Penyimpanan berakhir dan tidak diperpanjang;
d. jangka waktu Kontrak Kerja Sama akan berakhir dan tidak dilanjutkan pengelolaan CCS;
e. terjadi kondisi tidak aman yang menyebabkan penghentian sementara dan penutupan kegiatan CCS sebagai pilihan terbaik;
f. keadaan kahar yang menyebabkan penutupan kegiatan CCS sebagai pilihan terbaik; atau
g. sudah tidak ekonomis berdasarkan kajian keekonomian Kontraktor atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan.
(2) Keadaan kahar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f mengacu pada ketentuan keadaan kahar dalam Kontrak Kerja Sama atau Izin Operasi Penyimpanan.
(3) Kontraktor melalui SKK Migas atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan menyampaikan rencana penutupan kegiatan CCS kepada Menteri.
(4) Rencana penutupan kegiatan CCS sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling sedikit memuat:

a. Informasi subsurface sampai ZTI, peralatan, instalasi, fasilitas, serta sumur yang dilakukan penutupan kegiatan CCS;
b. total Penyimpanan Karbon;
c. perkiraan biaya;
d. tata waktu pelaksanaan penutupan;
e. rencana Monitoring pasca penutupan; dan
f. rencana pencegahan terhadap kemungkinan timbulnya:

1. kerusakan lingkungan;
2. bahaya terhadap manusia;
3. kerusakan pada sumber daya; dan
4. kerusakan terhadap peralatan, instalasi, dan fasilitas, sebagai akibat dari penutupan kegiatan CCS.

 

Pasal 37

(1) Menteri memberikan persetujuan atau penolakan rencana penutupan kegiatan CCS untuk:

a. rencana penutupan kegiatan CCS yang diajukan oleh Kontraktor; dan
b. rencana penutupan kegiatan CCS yang diajukan oleh pemegang Izin Operasi Penyimpanan.
(2) Dalam memberikan persetujuan atau penolakan rencana penutupan kegiatan CCS yang diajukan oleh Kontraktor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, Menteri mempertimbangkan rekomendasi SKK Migas.
(3) Dalam hal Menteri menyetujui rencana penutupan kegiatan CCS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kontraktor atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan melaksanakan penutupan kegiatan CCS sesuai dengan rencana penutupan yang telah disetujui.
(4) Dalam hal Menteri menolak rencana penutupan kegiatan CCS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Kontraktor atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan wajib melakukan perbaikan rencana penutupan kegiatan CCS.

 

Pasal 38

(1) Dalam hal terjadi kondisi tidak aman atau keadaan kahar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1) huruf e dan huruf f yang membutuhkan penanggulangan segera, Pemerintah memerintahkan Kontraktor atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan melaksanakan penghentian sementara atau penutupan kegiatan CCS.
(2) Pelaksanaan penghentian sementara atau penutupan kegiatan CCS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan kepada Menteri dengan ketentuan paling lama:

a. 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam melalui pesan secara elektronik;
b. 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam secara tertulis; dan
c. setiap 24 (dua puluh empat) jam sekali untuk melaporkan perkembangan proses penutupan kegiatan CCS.
(3) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling sedikit memuat:

a. kronologis kondisi tidak aman atau keadaan kahar;
b. penyebab penghentian sementara atau penutupan kegiatan CCS;
c. dampak yang ditimbulkan jika tidak dilakukan penghentian sementara atau penutupan kegiatan CCS;
d. prosedur penghentian sementara atau penutupan kegiatan CCS;
e. tindakan pengamanan yang dilakukan; dan
f. informasi subsurface sampai ZTI, peralatan, instalasi, fasilitas, serta sumur yang dilakukan penghentian sementara atau penutupan kegiatan CCS pasca penutupan.

   

Pasal 39

(1) Menteri melakukan verifikasi terhadap penyelesaian penutupan kegiatan CCS oleh Kontraktor atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38.
(2) Dalam melakukan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat menetapkan verifikator independen.
(3) Menteri menetapkan hasil verifikasi yang menyatakan bahwa penyelesaian penutupan kegiatan CCS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) telah memenuhi standar yang diacu dan kaidah keteknikan yang baik.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan kriteria penetapan verifikator independen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Menteri.

 

Pasal 40

Dalam hal penutupan penyelenggaraan CCS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 termasuk kegiatan pembongkaran bangunan dan instalasi di laut yang digunakan dalam kegiatan CCS, pelaksanaan penutupan tersebut dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
 

Pasal 41

Biaya yang digunakan untuk penutupan kegiatan CCS termasuk biaya verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39:

  1. dibebankan kepada pemegang Izin Operasi Penyimpanan melalui instrumen jaminan pasca operasi, dalam hal penyelenggaraan CCS dilaksanakan berdasarkan Izin Operasi Penyimpanan; atau
  2. diberlakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perlakuan perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, dalam hal penyelenggaraan CCS dilaksanakan berdasarkan Kontrak Kerja Sama.

 

BAB VII
KEEKONOMIAN ATAU SKEMA BISNIS

Bagian Kesatu
Imbal Jasa Penyimpanan (Storage Fee)
 
Pasal 42

(1) Penyelenggaraan CCS yang dilaksanakan:

a. berdasarkan Kontrak Kerja Sama dapat dimonetisasi dalam bentuk imbal jasa penyimpanan (storage fee) dan/atau bentuk lainnya; atau
b. berdasarkan Izin Operasi Penyimpanan dimonetisasi dalam bentuk imbal jasa penyimpanan (storage fee).
(2) Pendapatan yang diperoleh Kontraktor dari hasil monetisasi dalam bentuk imbal jasa penyimpanan (storage fee) dan/atau bentuk lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diberlakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perlakuan perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi.
(3) Imbal jasa penyimpanan (storage fee) yang diperoleh pemegang Izin Operasi Penyimpanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dikenakan kewajiban penerimaan negara bukan pajak (royalti) yang wajib dibayarkan kepada Pemerintah.
(4) Pemegang Izin Operasi Penyimpanan dikenai kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Besaran kewajiban penerimaan negara bukan pajak (royalti) kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai besaran imbal jasa penyimpanan (storage fee) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Menteri.

         

Bagian Kedua
Insentif Penyelenggaraan CCS
 
Pasal 43

(1) Dalam mendukung terlaksananya penyelenggaraan CCS, Kontraktor dapat diberikan insentif perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perlakuan perpajakan pada Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta insentif nonperpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam mendukung terlaksananya penyelenggaraan CCS, pemegang Izin Eksplorasi, pemegang Izin Transportasi Karbon, dan/atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan dapat diberikan insentif perpajakan dan nonperpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Aset Penyelenggaraan CCS
 
Pasal 44

(1) Seluruh barang dan peralatan yang dibeli oleh Kontraktor dan digunakan secara langsung dalam penyelenggaraan CCS sebagai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama menjadi barang milik negara yang pengelolaannya dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang barang milik negara.
(2) Seluruh barang dan peralatan yang dibeli oleh pemegang Izin Operasi Penyimpanan menjadi milik pemegang Izin Operasi Penyimpanan.

BAB VIII
MEKANISME TRANSPORTASI ATAU PENGANGKUTAN KARBON LINTAS NEGARA (CROSS-BORDER TRANSPORTATION OF CARBON)
 
Pasal 45

(1) Dalam rangka memfasilitasi pengangkutan penyelenggaraan CCS lintas negara, dilakukan perjanjian kerja sama bilateral antarnegara.
(2) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi pedoman semua pihak untuk menerbitkan rekomendasi atau izin yang diperlukan dalam rangka Pengangkutan Karbon lintas negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negara masing-masing.
(3) Perjanjian kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai perjanjian internasional.

   

Pasal 46

(1) Perjanjian kerja sama bilateral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 harus memperhatikan aturan internasional mengenai kerja sama dalam rangka mitigasi perubahan iklim.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai implementasi ketentuan-ketentuan perjanjian kerja sama bilateral diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri untuk masing-masing sektor sesuai kewenangannya.

 

Pasal 47

(1) Setiap kegiatan Pengangkutan Karbon ke dalam wilayah kepabeanan Indonesia wajib dilakukan melalui moda pengangkutan dengan standar dan kaidah keteknikan yang memenuhi aspek keselamatan, kesehatan kerja, dan perlindungan lingkungan.
(2) Terhadap Karbon yang diangkut ke dalam wilayah kepabeanan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib diregistrasikan oleh pengimpor sebanyak 1 (satu) kali pada saat pertama kali impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Untuk Pengangkutan Karbon ke dalam wilayah kepabeanan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah adanya perjanjian bilateral antara negara Republik Indonesia dengan negara tempat Karbon dihasilkan dan ditangkap.
(4) Dalam hal terjadi Kebocoran selama Pengangkutan Karbon lintas negara Republik Indonesia, Kebocoran tersebut tidak menambah inventaris gas rumah kaca Indonesia.
(5) Pengukuran Karbon pada setiap rantai proses CCS harus menggunakan alat ukur serah terima yang terkalibrasi yang harus dipasang di titik serah terima dari penghasil emisi ke pemegang Izin Transportasi Karbon dan dari pemegang Izin Transportasi Karbon ke pemegang Izin Operasi Penyimpanan dan/atau Kontraktor.
(6) Hak dan kewajiban terkait mekanisme serah terima Karbon lintas negara termasuk tanggung jawab apabila terjadi Kebocoran pada setiap rantai proses diatur dalam peraturan perundangan-undangan yang berlaku dan sesuai kesepakatan antara penghasil emisi dengan pemegang Izin Transportasi Karbon, pemegang Izin Operasi Penyimpanan, dan/atau Kontraktor.

   

BAB IX
PENGUKURAN, PELAPORAN, DAN VERIFIKASI (MEASUREMENT, REPORTING, AND VERIFICATION)

Bagian Kesatu
Umum
 
Pasal 48

(1) Kontraktor atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan sebagai penanggung jawab aksi yang melaksanakan kegiatan CCS wajib melakukan kegiatan MRV untuk memberikan jaminan kualitas, kredibilitas, keandalan, kelengkapan, akurasi, dan kebenaran jumlah Karbon yang tersimpan pada ZTI.
(2) Aksi mitigasi perubahan iklim yang dihasilkan dari kegiatan CCS dilakukan melalui tahapan kegiatan:

a. pengukuran;
b. pelaporan; dan
c. verifikasi.
(3) Pengukuran, pelaporan, dan verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan secara terintegrasi dengan prinsip efisien, efektif, dan transparan.

Bagian Kedua
Pengukuran
 
Pasal 49

(1) Pengukuran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dilakukan paling sedikit 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun.
(2) Pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap perencanaan dan penyelenggaraan kegiatan CCS yang paling sedikit memuat:

a. inventarisasi Karbon selama kegiatan; dan
b. parameter operasi CCS.
(3) Metodologi yang digunakan dalam pengukuran dan tata cara pengukuran dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Ketiga
Pelaporan
 
Pasal 50

(1) Penanggung jawab aksi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) wajib menyusun laporan capaian aksi mitigasi yang memuat rangkaian pelaksanaan proses yang terkait satu sama lain, mulai dari pemisahan dan Penangkapan Karbon dari sumber emisi gas buang (flue gas), Pengangkutan Karbon tertangkap ke tempat penyimpanan (transportation), dan Penyimpanan Karbon ke tempat yang aman (storage).
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyusunan:

a. dokumen rancangan aksi mitigasi; dan
b. laporan pelaksanaan aksi mitigasi.
(3) Tata cara pelaporan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bagian Keempat
Validasi dan Verifikasi
 
Pasal 51

(1) Dalam rangka pengendalian dan penjaminan mutu hasil Pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat (1) dilakukan validasi dan verifikasi.
(2) Dalam pelaksanaan validasi dan verifikasi, Kontraktor atau pemegang izin yang melaksanakan kegiatan CCS dapat menunjuk lembaga validasi dan verifikasi independen yang telah terdaftar dalam sistem registri nasional pengendalian perubahan iklim.
(3) Lembaga validasi dan verifikasi independen sebagaimana dimaksud pada ayat (2) melakukan validasi dan verifikasi sesuai dengan pedoman yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 
 

Pasal 52

Kontraktor atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan menyampaikan hasil MRV secara tertulis kepada tim MRV kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan ditembuskan kepada Menteri.
 

Pasal 53

Hasil pelaksanaan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi dilaporkan oleh penanggung jawab aksi ke dalam sistem registri nasional pengendalian perubahan iklim.
 

BAB X
NILAI EKONOMI KARBON
 
Pasal 54

Penyelenggaraan NEK dari kegiatan CCS dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyelenggaraan NEK.
 

Pasal 55

(1) Setiap penanggung jawab aksi wajib mencatatkan dan melaporkan penyelenggaraan NEK dari kegiatan CCS pada sistem registri nasional pengendalian perubahan iklim.
(2) Tata laksana pencatatan pelaksanaan NEK pada sistem registri nasional pengendalian perubahan iklim sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

Pasal 56

(1) Pelaksanaan aksi mitigasi perubahan iklim dari kegiatan CCS dapat dilakukan melalui penyelenggaraan NEK.
(2) Dalam penyelenggaraan NEK melalui perdagangan Karbon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perlu SPE GRK sebagai bukti kinerja pengurangan emisi suatu aksi mitigasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai SPE GRK diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XI
KESELAMATAN, LINGKUNGAN, DAN TANGGAP DARURAT

Bagian Kesatu
Monitoring Keselamatan Operasi
 
Pasal 57

(1) Kontraktor atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan harus melakukan Monitoring untuk menjamin keselamatan pekerja, keselamatan instalasi dan peralatan, keselamatan lingkungan, dan/atau keselamatan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Kegiatan Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sejak rencana penyelenggaraan CCS disetujui sampai dengan 10 (sepuluh) tahun setelah penyelesaian penutupan kegiatan CCS berdasarkan penetapan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3).
(3) Kontraktor wajib mencadangkan biaya kegiatan Monitoring untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah penyelesaian penutupan kegiatan CCS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebagai bagian dari kegiatan penutupan dan pemulihan tambang.
(4) Pemegang Izin Operasi Penyimpanan wajib mencadangkan dana penjaminan sebagai biaya kegiatan Monitoring untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun setelah penyelesaian penutupan kegiatan CCS sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

    

 

Pasal 58

Kontraktor atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan dalam mengajukan rencana Monitoring sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 harus:

a. mempertimbangkan karakteristik lokasi CCS; dan
b. menggunakan metode langsung maupun tidak langsung untuk mengidentifikasi potensi risiko:

1. Kebocoran;
2. kontaminasi air tanah;
3. integritas ZTI; dan
4. memperkirakan potensi risiko lainnya akibat injeksi Karbon.

 

Pasal 59

Kontraktor atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan dalam menyiapkan rencana Monitoring harus menerapkan kaidah keteknikan yang baik dan mempunyai kemampuan untuk:

a. mengumpulkan rona lingkungan awal pada lokasi penyimpanan sebelum injeksi Karbon dimulai;
b. memantau fasilitas injeksi Karbon, tempat penyimpanan termasuk aliran Karbon, dan lingkungan sekitar;
c. membandingkan hasil pemantauan dengan rona lingkungan awal lokasi penyimpanan;
d. membandingkan perilaku sebenarnya dari Karbon di ZTI dengan hasil pemodelan; dan
e. mendeteksi kemungkinan terjadinya Kebocoran atau pergerakan Karbon yang tidak sesuai rencana untuk:

1. menilai besaran Kebocoran;
2. mendeteksi efek yang merugikan lingkungan sekitar;
3. menentukan tindakan perbaikan yang diperlukan; dan
4. menilai efektivitas tindakan perbaikan.

 

Pasal 60

(1) Kontraktor atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan wajib melaporkan hasil Monitoring kepada Menteri secara berkala setiap:

a. 6 (enam) bulan pada saat operasi Penyimpanan Karbon; dan
b. 1 (satu) tahun sekali pada saat Monitoring pasca penyelesaian penutupan kegiatan CCS.
(2) Dalam hal terjadi Kebocoran, kontaminasi air tanah, pergerakan Karbon yang tidak sesuai rencana, dan/atau risiko lain akibat injeksi Karbon, Kontraktor atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan wajib menyampaikan laporan kepada Menteri ditembuskan kepada Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan ketentuan paling lama:

a. 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam melalui pesan secara elektronik; dan
b. 2 x 24 (dua kali dua puluh empat) jam secara tertulis.
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Menteri menginstruksikan Kontraktor atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan untuk:

a. memperluas dan mengintensifkan metode Monitoring; dan/atau
b. wajib melakukan proses perbaikan untuk menyelesaikan kejadian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan menggunakan sumber daya dan jaminan pelaksanaan operasi yang disediakan.
(4) Dalam menginstruksikan Kontraktor untuk mengubah metode Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, Menteri dapat meminta pertimbangan SKK Migas.
(5) Proses perbaikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf b dilakukan dengan menerapkan kaidah keteknikan yang baik.
(6) Dalam hal Kebocoran mengakibatkan penambahan inventori gas rumah kaca, selain tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kontraktor atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan wajib melaksanakan pengimbangan emisi.

  
 

Pasal 61

(1) Hak, kewajiban, dan tanggung jawab Kontraktor atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan atas penyelenggaraan CCS berakhir apabila:

a. telah terdapat penetapan hasil verifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (3);
b. hasil Monitoring menunjukkan tidak terdeteksi Kebocoran, kontaminasi air tanah, pergerakan Karbon yang tidak sesuai rencana, dan/atau risiko lain akibat injeksi Karbon; dan
c. jangka waktu Izin Operasi Penyimpanan atau Kontrak Kerja Sama telah berakhir.
(2) Sebelum berakhirnya jangka waktu Kontrak Kerja Sama, Kontraktor dapat mengajukan usulan pengembalian sebagian Wilayah Kerja yang terdapat ZTI yang telah dilaksanakan kegiatan CCS kepada Menteri melalui SKK Migas.
(3) Usulan pengembalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diajukan oleh Kontraktor jika telah terdapat hasil verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan hasil Monitoring sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b.
(4) Menteri memberikan persetujuan terhadap usulan pengembalian sebagian Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan pertimbangan SKK Migas.
(5) Hak, kewajiban, dan tanggung jawab Kontraktor atas penyelenggaraan CCS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berakhir sejak tanggal persetujuan Menteri atas pengembalian sebagian Wilayah Kerja.
(6) Sejak berakhirnya bak, kewajiban, dan tanggung jawab pemegang Izin Operasi Penyimpanan atau Kontraktor, Menteri melakukan pengawasan terhadap Depleted Reservoir, Storage Akuifer Asin, atau lapisan batubara yang telah dilaksanakan kegiatan CCS.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penutupan kegiatan CCS diatur dalam Peraturan Menteri.

 
 

Bagian Kedua
Rencana Penanganan Kondisi Keadaan Tanggap Darurat
 
Pasal 62

(1) Kontraktor atau pemegang Izin Operasi Penyimpanan wajib menyediakan sistem tanggap darurat untuk menghadapi kondisi berbahaya yang berpotensi mengancam keselamatan pekerja, keselamatan instalasi dan peralatan, keselamatan lingkungan, dan/atau keselamatan umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Sistem tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun agar pengendalian atas dampak kerusakan yang terjadi dalam penyelenggaraan CCS, dapat dilakukan secara cepat dan akurat.

 

Pasal 63

Sistem tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 paling sedikit terdiri atas:

  1. penilaian risiko;
  2. prosedur tanggap darurat;
  3. peralatan tanggap darurat termasuk peralatan peringatan dini;
  4. personel terdidik dan terlatih; dan
  5. pelatihan berkala.

 

Pasal 64

(1) Prosedur tanggap darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf b meliputi:

a. upaya penanggulangan atas keadaan darurat yang telah teridentifikasi yang paling sedikit meliputi:

1. pengisolasian sumber kedaruratan;
2. penghentian sumber kedaruratan; dan
3. tindakan mitigasi kedaruratan;
b. sistem pelaporan kepada Pemerintah; dan
c. koordinasi dengan para pemangku kepentingan.
(2) Prosedur tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dimutakhirkan secara berkala setiap 1 (satu) tahun sekali.

  

Pasal 65

(1) Peralatan tanggap darurat termasuk peralatan peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf c harus tersedia sesuai spesifikasi teknis yang berlaku dalam jumlah cukup dan kondisi siap pakai.
(2) Pemeriksaan dan pemeliharaan rutin atas peralatan tanggap darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan secara berkala.

   
 

Pasal 66

Personel terdidik dan terlatih sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf d merupakan personel yang telah menerima pelatihan untuk menjadi first responder dalam sistem tanggap darurat.
 

Pasal 67

Pelatihan berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 63 huruf e dilakukan melalui simulasi dan latihan secara berkala, mandiri, serta dengan melibatkan pemangku kepentingan dan masyarakat untuk pelatihan evakuasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB XII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
 
Pasal 68

Menteri yang menyelenggarakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian urusan kementerian dalam penyelenggaraan pemerintahan di bidang kemaritiman dan investasi mengkoordinasikan:

  1. penerbitan persyaratan dasar, perizinan berusaha, dan perizinan operasional yang diperlukan dalam pelaksanaan penyelenggaraan CCS;
  2. pelaksanaan evaluasi bersama antarkementerian dan lembaga terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan untuk percepatan penerbitan persyaratan dasar, perizinan berusaha, dan perizinan operasional penyelenggaraan CCS;
  3. pemberian insentif atau fasilitas perpajakan yang diperlukan dalam pelaksanaan penyelenggaraan CCS; dan
  4. pelaksanaan evaluasi bersama antarkementerian dan lembaga terhadap kerja sama bilateral atau multilateral penyelenggaraan CCS lintas negara.

 

Pasal 69

Pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan CCS terkait dengan Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan penerapan tata laksana NEK melalui fasilitasi, konsultasi, bimbingan teknis, sosialisasi, dan/atau tata cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup.
 

Pasal 70

Pelaksanaan perizinan berusaha atas penyelenggaraan CCS secara elektronik dan terintegrasi diselenggarakan oleh menteri/kepala badan yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang investasi/koordinasi penanaman modal.
 

Pasal 71

Perumusan kebijakan politik luar negeri mengenai kerja sama CCS pada tingkat internasional dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang luar negeri.
 

Pasal 72

(1) Menteri melakukan pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan CCS melalui izin usaha atau Kontrak Kerja Sama dan keteknikan penyelenggaraan kegiatan CCS melalui fasilitasi, konsultasi, bimbingan teknis, sosialisasi, dan/atau tata cara lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengawasan aspek keselamatan pekerja, keselamatan instalasi dan peralatan, keselamatan lingkungan, dan keselamatan umum atas penyelenggaraan kegiatan CCS dilaksanakan oleh Menteri.

Pasal 73

Ketentuan yang berlaku untuk SKK Migas dalam Peraturan Presiden ini berlaku secara mutatis mutandis kepada BPMA sepanjang tidak diatur berbeda berdasarkan Peraturan Presiden ini.
 

BAB XIII
SANKSI ADMINISTRATIF
 
Pasal 74

(1) Pemegang Izin Eksplorasi yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (3) dan Pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2) Pemegang Izin Operasi Penyimpanan yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3), Pasal 26 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33, Pasal 35 ayat (2), Pasal 37 ayat (4), Pasal 42 ayat (3), Pasal 48 ayat (1), Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 57 ayat (4), Pasal 60 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (6), dan Pasal 62 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(3) Pemegang Izin Transportasi Karbon yang melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(4) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) berupa:

a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Eksplorasi ZTI, operasi Penyimpanan Karbon, atau Pengangkutan Karbon; dan/atau
c. pencabutan izin.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif diatur dalam Peraturan Menteri dan peraturan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang transportasi sesuai kewenangannya.

Pasal 75

(1) Kontraktor yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2), Pasal 37 ayat (4), Pasal 42 ayat (3), Pasal 48 ayat (1), Pasal 50 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 57 ayat (3), Pasal 60 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (6), dan Pasal 62 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:

a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan Eksplorasi ZTI, operasi Penyimpanan Karbon, atau Pengangkutan Karbon; dan/atau
c. pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Menteri.

BAB XIV
KETENTUAN PENUTUP
 
Pasal 76

Pada saat Peraturan Presiden ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penyelenggaraan CCS dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden ini.
 

Pasal 77

Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
 
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Presiden ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
 

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 30 Januari 2024
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

JOKO WIDODO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Januari 2024
MENTERI SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

PRATIKNO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2024 NOMOR 27