JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pemerintah berencana merealisasikan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebagai amanat Undang-Undang (UU) No. 7/2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Sebagai pengingat, Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang (UU) No. 7/2021 menetapkan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1% atau dari 11% menjadi 12% pada 2025. Aturan ini sebelumnya juga menjadi dasar kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada April 2022 lalu.
“Jadi kami di sini sudah dibahas dengan bapak ibu sekalian sudah ada UU-nya, kita perlu siapkan agar itu bisa dijalankan [kenaikan PPN pada 2025 jadi 12%], tapi dengan penjelasan yang baik sehingga kita tetap bisa [jalankan],” ujarnya dalam Raker bersama Komisi XI DPR, Rabu (13/11/2024).
Sebagai penjelas, kenaikan PPN ini akan mengerek beban pajak dalam laporan keuangan bagi Wajib Pajak sebesar 9% yakni dari 11% menjadi 12%.
Sri Mulyani yang menjabat Menteri Keuangan 4 periode terpisah itu menegaskan pihaknya tidak akan memungut PPN secara ‘membabi-buta’. Dalam hal kenaikan PPN, menjadi kebutuhan dalam menyehatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang jumlahnya tidak sedikit.
Pasalnya, pada saat bersamaan APBN harus menjalankan fungsi berbagai fungsi, termasuk shock absorber dalam merespon kondisi gejolak ekonomi global dan krisis finansial.
Untuk itu, pihaknya akan memberikan penjelasan kepada masyarakat dan memastikan kenaikan PPN menjadi 12% tidak terjadi pada semua barang dan jasa.
“Saya setuju bahwa kita perlu banyak memberikan penjelasan kepada masyarkat artinya walaupun kita buat kebijakan tentang pajak termasuk PPN bukannya membabi buat atau tidak punya afirmasi atau perhatian pada sektor-sektor seperti kesehatan, pendidikan, bahkan makanan pokok,” jelasnya.
Meski menaikkan PPN, terdapat setidaknya satu jenis barang kena pajak tertentu dan enam jenis jasa kena pajak tertentu yang terbebas dari PPN 12% pada tahun mendatang. Produk itu adalah kebutuhan pokok hingga beragam jenis jasa seperti pendidikan hingga kesehatan.
Sementara barang berupa makanan yang disajikan di hotel, restoran, warung dan sejenisnya termasuk dalam barang yang tidak dikenai PPN. Jasa keagamaan, jasa kesenian hiburan, hingga perhotelan juga termasuk dalam jasa yang tidak dikenai PPN.
Perbandingan PPN di Negara G20
Lalu dengan kenaikan PPN ini, apakah Indonesia pemungut pajak terbesar di dunia dalam kelompok negara dengan ekonomi terbesar di dunia alias G20? Berdasarkan penelusuran Trading Economics tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia yang sebesar 15,4%. Namun banyak negara maju yang menerapkan PPN juga jauh di bawah rata-rata. Berikut detailnya:
Tarif PPN/Sales tax/VAT di negara G20 (%) | |
---|---|
Negara | Tarif PPN (%) |
Argentina | 21 |
Australia | 10 |
Brasil | 17 |
Kanada | 5 |
China | 13 |
Uni Eropa | 20,8 |
Prancis | 20 |
Jerman | 19 |
India | 18 |
Indonesia
|
11 |
Italia | 22 |
Jepang | 10 |
Meksiko | 16 |
Belanda | 21 |
Rusia | 20 |
Arab Saudi | 15 |
Singapura | 7 |
Afrika Selatan | 15 |
Korea Selatan | 10 |
Spanyol | 21 |
Swiss | 8,1 |
Turkiye | 20 |
Inggris | 20 |
Amerika Serikat | 0 |
Sumber: Trading Economics
———————-
Artikel berjudul “PPN Naik jadi 12% pada 2025, Begini Perbandingan Pajak Pertambahan Nilai Negara G20
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20241114/259/1816055/ppn-naik-jadi-12-pada-2025-begini-perbandingan-pajak-pertambahan-nilai-negara-g20