JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa hanya memiliki waktu kurang dari 3 bulan untuk mengejar target penerimaan pajak yang masih di angka 62,4% dari outlook sebesar Rp2.076,9 triliun pada tahun ini.
Kalau meleset Purbaya bakal memikul beban berat karena target pertumbuhan penerimaan pajak tahun 2026 yang semula berada di kisaran 13% bisa menembus angka 27-30% lebih. Hal itu berarti, target penerimaan pajak tahun depan semakin sulit dicapai, apalagi jika jurus pembenahan ekonomi Purbaya, tidak sesuai ekspektasi.
Dalam catatan Bisnis, realisasi penerimaan pajak selalu berada di bawah pertumbuhan alamiahnya. Namun demikian, rumus ini bisa dikecualikan ketika terjadi aliran penerimaan yang sifatnya extraordinary seperti lonjakan harga komoditas, yang memicu limpahan pendapatan ke kas negara.
Pertumbuhan pajak alamiah diukur berdasarkan realisasi pertumbuhan ekonomi dengan inflasi tahunan. Artinya, kalau target tahun ini misalnya, pertumbuhan ekonomi di angka 5,2% dan inflasi di angka 2,8%, seharusnya pertumbuhan penerimaan pajak alamiahnya bisa mencapai 8%.
Namun yang terjadi saat ini justru sebaliknya, penerimaan pajak hingga September 2025 malahan terkontraksi di angka minus 4,4% atau realisasinya jauh di bawah pertumbuhan alamiahnya.
Tren serupa juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya pada tahun 2024, misalnya, realisasi penerimaan pajak tercatat sebesar Rp1.932,4 triliun capaianya lebih dari 100%. Tetapi pertumbuhannya hanya di angka 3,5%.
Padahal dengan realisasi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,03% dan inflasi 1,57%, pertumbuhan alamiah penerimaan pajak tahun 2024 seharusnya di angka 6,6%.
Namun demikian, simulasi ini tidak berlaku pada tahun 2022-2023, pada dua tahun tersebut terjadi lonjakan penerimaan pajak. Ada dua aspek yang mempengaruhi penerimaan pajak tahun 2022. Pertama karena baseline penerapan target yang cukup rendah sebagai konsekuensi dari proses pemulihan ekonomi.
Kedua, karena membaiknya harga komoditas baik itu migas maupun komoditas lainnya seperti batu bara. Pada tahun 2022, pertumbuhan penerimaan pajak mencapai 34,27% melampaui pertumbuhan alamiahnya di angka 10,82%. Tahun 2023, tren itu mulai mengalami moderasi sehingga pertumbuhan penerimaan pajak di angka 8,8%.
Adapun salah satu indikasi dari kenaikan harga komoditas, terutama migas itu direpresentasikan oleh penerimaan pajak dari PPh migas yang realisasinya lebih dari 120% atau tumbuh 47,32% dari tahun 2021.
Hal itu berbanding terbalik dengan kondisi saat ini, pemerintah rasanya sulit untuk mengelak bahwa shortfall atau selisih antara target dan realisasi pajak tahun ini akan melebar dari outlook APBN 2025 di angka Rp2.076,9 triliun.
Sekadar catatan penerimaan pajak per September 2025 masih di angka 62,4% atau kurang sebesar Rp781,6 triliun dari outlook APBN. Periode yang sama tahun lalu penerimaan pajak telah mencapai 70% dari target.
Artinya kalau mengacu kepada data tahun lalu, dengan realisasi penerimaan pajak sebesar Rp1.932,4 triliun, pemerintah berhasil memenuhi sekitar 29,8% penerimaan dalam waktu 3 bulan.
Persoalannya data 2025 menunjukkan dengan penerimaan 62,4% pemerintah harus mengejar penerimaan pajak sebesar 37,6% dari target agar shortfall tidak melebar atau minimal pas dengan outlook APBN. Angka ini bahkan melampaui realisasi pertumbuhan tahun 2022 yang banyak ditopang komoditas dan rendahnya benchmark penerimaan pada tahun sebelumnya.
Purbaya Mulai Atur Strategi
Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa meyakini penerimaan pajak yang realisasinya sampai dengan September 2025 baru mencapai 62,4% terhadap outlook akan bisa ditutupi seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi.
Berdasarkan data APBN KiTa edisi Oktober 2025, penerimaan pajak sampai dengan akhir September 2025 tercatat sebesar Rp1.295,3 triliun. Realisasi itu turun sebesar 4,4% (yoy) dari September 2024 yakni Rp1.354,9 triliun.
Menurut hitung-hitungan Purbaya, pertumbuhan penerimaan pajak bisa lebih cepat apabila perekonomian tumbuh lebih cepat. Mantan Ketua Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) itu sebelumnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi kuartal III/2025 akan melambat, namun bakal melesat di atas 5,5% (yoy) pada kuartal IV/2025.
“Tetapi kalau ceteris paribus, kita akan tutupi kebocoran-kebocoran yang timbul. Di cukai, underinvoicing, segala macam kita periksa lagi. Di pajak juga saya harapkan yang main-main, enggak main-main lagi sehingga kita enggak bocor pajaknya,” terangnya kepada wartawan.
Purbaya menjabarkan bahwa terdapat beberapa bentuk modus pelanggaran hukum yang kerap melibatkan petugas pajak juga. Misalnya, dia menduga ada pegawai pajak yang bernegosiasi dengan wajib pajak untuk menyesuaikan kewajiban pembayaran pajaknya kepada negara.
“Ya akhirnya pendapatan pemerintah sedikit, mereka bagi dua. Itu biasanya begitu,” paparnya.
Di sisi lain, pria yang pernah menjabat Deputi di Kemenko Kemaritiman dan Investasi itu menyebut otoritas fiskal tengah menyiapkan sistem teknologi informasi pajak yang lebih canggih. Salah satunya adalah Coretax, yang ditargetkannya siap digunakan pekan ini.
“Saya harapkan akhir minggu ini Coretax udah siap mungkin. Untuk meningkatkan lagi pendapatan dari pajak, kalau lebih efisien Coretax-nya,” kata Purbaya.
Di sisi lain, Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan pihaknya akan terus melaporkan kinerja penerimaan pajak secara transparan dan berkala. “Kita pantau terus nanti setiap bulan kita akan melaporkan terus, setiap bulan kita punya angka lapsem [laporan semester] target kita nanti kita kumpulkan,” terangnya pada kesempatan yang sama.
Perbaikan Struktur Ekonomi
Anomali penerimaan pajak di Indonesia tidak lepas dari ketergantungan ekonomi terhadap komoditas. Pemerintah pun didorong untuk terus membenahi struktur ekonomi dengan memperbesar size padat karya dan bertransformasi ke manufaktur yang memiliki nilai tambah.
Ekonom Senior sekaligus Tim Asistensi Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Raden Pardede menegaskan bahwa Indonesia harus segera melakukan peningkatan mesin pertumbuhan ekonomi apabila ingin lepas dari jebakan pendapatan menengah dan mencapai status negara maju pada 2045.
Dia menjelaskan Indonesia selama ini bergantung kepada komoditas-komoditas sumber daya alam seperti batu bara, minyak mentah (CPO), dan mineral. Padahal, menurutnya, komoditas merupakan model pembangunan lama sehingga pemerintah perlu mempercepat transformasi ke arah ekonomi manufaktur, jasa, dan berbasis inovasi teknologi.
“Kita harus ambil sumber daya alam itu sebagai bonus, bukan itu menjadi utamanya. Itu tambahan saja, jangan itu menjadi andalan,” ujar Raden dalam diskusi Capaian 1 Tahun Kinerja Kabinet Merah Putih Bidang Perekonomian di Jakarta, Senin (20/10/2025).
Dia mengungkapkan bahwa cita-cita menuju negara maju harus disertai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di atas 5%. Masalahnya, pendapatan nasional per kapita (GNI per kapita) Indonesia tumbuh hanya 3,8%.
Raden membandingkan pertumbuhan GNI per kapita Vietnam maupun China sekitar 6,2%. Menurutnya, agar GNI per kapita dapat tumbuh sejajar dengan Vietnam atau China, ekonomi Indonesia idealnya tumbuh di kisaran 6%–8% per tahun.
Pertumbuhan tinggi tersebut, sambungnya, tidak akan mungkin tanpa lompatan produktivitas. Dia menggarisbawahi bahwa produktivitas menjadi “mesin utama” yang menentukan daya saing dan peningkatan pendapatan masyarakat.
“Kalau produktivitas kita tinggi, gaji bisa tinggi, harga turun, profit naik. Jadi menguntungkan juga buat dunia usaha, menguntungkan juga buat tenaga kerja kita, dan pertumbuhan kita ada. Ini yang disebut creative destruction,” jelasnya.
Mesin Ekonomi Harus Di-upgrade
Raden memaparkan bahwa mesin ekonomi nasional harus terus dimodernisasi agar efisien dan adaptif terhadap perubahan teknologi global. Dia mengutip teori pemenang Nobel Ekonomi 2025 yaitu Joel Mokyr, Philippe Aghion, dan Peter Howitt yang menekankan pentingnya creative destruction, mengganti mesin lama dengan mesin baru melalui inovasi.
Menurutnya, Indonesia membutuhkan strategi yang mencakup tiga hal utama. Pertama, modernisasi ekonomi secara berkelanjutan. Kedua, deregulasi dan debottlenecking untuk menghilangkan hambatan birokrasi. Ketiga, memitigasi risiko sosial dan teknologi agar kelompok rentan tidak tertinggal dalam transisi digital.
“Ibarat saluran darah, kita itu pastikan tidak ada lemak-lemak di situ, karena begitu ada lemak-lemak di situ maka salurannya enggak jalan. Macet itu. Hilangkan lemak-lemak itu. Itu yang dilakukan dengan deregulasi. Itu yang dilakukan dengan transformasi,” tegasnya.
Raden menilai, momentum global saat ini menjadi peluang langka bagi Indonesia. Kesepakatan ekonomi komprehensif antara Indonesia dengan Uni Eropa (IEU-CEPA) disebutnya sebagai jendela kesempatan yang harus dimanfaatkan maksimal sebelum tertutup.
Dia juga menyebut bahwa pemerintah mulai mengarahkan transformasi ke sektor berbasis teknologi dan inovasi, termasuk melalui pembentukan Satuan Tugas Artificial Intelligence di Kementerian Koordinator Perekonomian untuk memodernisasi sektor pertanian dan industri.
Pada akhirnya, kata Raden, selain ‘mesin ekonomi’ yang kuat, kualitas pembuat kebijakan juga harus terjaga agar arah kebijakan tetap konsisten dan berorientasi jangka panjang.
“Landasannya adalah institusi, kelembagaan kita juga harus kuat. Mungkin itulah menurut saya menjadi persyaratan kita untuk bisa nanti di 2045,” tutupnya.
———————-
Artikel berjudul “Purbaya Dihantui Shortfall Pajak, Target Tahun Depan Bakal Lebih Sulit Dicapai!
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20251021/259/1922138/purbaya-dihantui-shortfall-pajak-target-tahun-depan-bakal-lebih-sulit-dicapai