Restitusi Pajak Tinggi, Pemerintah Bakal Kaji Ulang Dampak UU Cipta Kerja

JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengaku tengah menghitung ulang dampak Undang-Undang (UU) tentang Cipta Kerja terhadap anjloknya penerimaan negara akibat tingginya pengembalian pajak alias restitusi. 

Pada konferensi pers APBN KiTa edisi Desember 2025, Kamis (18/12/2025), Kemenkeu mengungkapkan bahwa pemerintah membukukan penerimaan pajak sebesar Rp1.634,4 triliun atau 78,7% dari target sampai dengan akhir November 2025. Sebelum restitusi, penerimaan pajak tercatat sebesar Rp1.985,4 triliun sehingga selisihnya diketahui mencapai Rp351 triliun. 

Pengembalian paling besar terjadi di pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan barang mewah (PPnBM). Penerimaan bruto tercatat Rp907,93 triliun, namun setelah dikurangi restitusi anjlok ke Rp660,77 triliun. Dengan demikian, ada pengembalian sebesar Rp247,1 triliun. 

Direktur Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kemenkeu, Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan bahwa restitusi adalah bagian dari hak wajib pajak (WP). Dia mengakui pengembalian yang tinggi terjadi di antaranya pada komoditas batu bara. 

Komoditas ’emas hitam’ itu sebagian besar diekspor sehingga bebas dari PPN. Menurut Febrio, kondisi tersebut tidak lepas dari UU Cipta Kerja yang sudah berlaku selama empat tahun belakangan ini. 

Hal tersebut juga sebelumnya sudah diakui oleh Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa pada saat rapat dengan Komisi XI DPR awal Desember 2025 ini. 

“Ketika dia [batu bara] diekspor terjadi restitusi PPN-nya terutama, karena kan kalau barang ekspor kan tidak kena PPN. Nah, jadi itu restitusi menjadi cukup besar. Sekarang kami assess dampaknya, kami harus hitung ulang,” terang Febrio usai konferensi pers tersebut di kantor Kemenkeu, Jakarta, dikutip Minggu (21/12/2025). 

Pejabat eselon I Kemenkeu itu pun mengakui rencana pengenaan bea keluar batu bara menjadi kebijakan yang diharapkan bisa membalikkan keadaan yang ada sekarang. Dengan memungut bea keluar, harapannya kondisi penerimaan negara dari sektor batu bara bisa kembali ke level sebelum UU Cipta Kerja. 

“Ini makanya kami coba assess apakah bea keluar ini bisa membalikkan pendulumnya ke kondisi kurang lebih mirip seperti sebelum Undang-Undang Cipta Kerja,” tutur Febrio.  

Secara lebih luas, mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal itu menyebut pihaknya sedang melihat kembali prinsip keadilan dari industri-industri ekstraktif di Indonesia, tidak hanya batu bara. Prinsipnya mengacu pada pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 

Namun, dia memastikan pemerintah akan tetap memerhatikan aspek daya saing atau competitiveness dari industri di dalam negeri. 

“Jadi competitiveness untuk berbisnis sisi usaha tambang juga tetap kami perhatikan, tetapi keadilan sesuai dengan pasal 33 itu akan kami terus pegang,” ungkapnya.

Adapun estimasi setoran bea keluar batu bara ke APBN dalam setahun mencapai sekitar Rp25 triliun. Rencananya, pungutan bea keluar batu bara akan mulai diterapkan Januari 2026. 

Febrio mengatakan pihaknnya menargetkan secepatnya akan menerbitkan aturan pengenaan tarif ekspor kepada komoditas emas hitam itu. “Kami estimasi bisa mencapai Rp24 triliun-Rp25 triliun satu tahun penerimaan dari bea keluar batu bara,” terangnya, dikutip Minggu (21/12/2025). 

Pungutan bea keluar batu bara diharapkan berlaku bersamaan dengan bea keluar emas. Bedanya, pengenaan bea keluar untuk emas sudah lebih siap berlaku mulai awal tahun depan sejalan dengan sudah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.80/2025 yang mulai berlaku 23 Desember 2025. 

Pada aturan tersebut, ekspor empat produk emas yakni dore, granules, casted bars dan minted bars akan dikenai tarif kisaran 7,5% sampai dengan 15%. 

Pengenaan bea keluar emas diharapkan bisa mendorong ketersediaan pasokan emas dalam negeri untuk di antaranya kebutuhan bullion bank. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa sebelumnya menyebut pihaknya menargetkan penerimaan dari bea keluar emas senilai Rp3 triliun.

Sementara itu, untuk pengenaan bea keluar batu bara, Purbaya menyampaikan bahwa pungutan itu ditujukan agar tidak memberikan subsidi kepada industri batu bara. 

Sebagaimana diketahui, batu bara selama ini seakan ‘disubsidi’ oleh pemerintah karena mayoritas produknya diekspor dan dibebaskan dari pajak pertambahan nilai (PPN). 

“Jadi kami balik ke status yang awal tadi. Jangan sampai kami memang subsidi industri batu bara,” tuturnya.

———————-

Artikel berjudul “Restitusi Pajak Tinggi, Pemerintah Bakal Kaji Ulang Dampak UU Cipta Kerja
dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20251221/259/1938579/restitusi-pajak-tinggi-pemerintah-bakal-kaji-ulang-dampak-uu-cipta-kerja