RI Soroti 4 Isu di Konvensi Kerja Sama Pajak Global PBB

JAKARTA — Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menegaskan bahwa Indonesia mendukung Konvensi Kerja Sama Perpajakan Global dari Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations Framework Convention on International Tax Cooperation (UNFCITC) yang saat ini pembahasannya tengah berjalan.

Direktur Perpajakan Internasional DJP Mekar Satria Utama menyampaikan bahwa sudah disepakati tiga workstream atau alur kerja dalam pembahasan UNFCITC. 

Pertama (Workstream 1), kerangka konvensi yang berisi tiga komitmen prioritaskan seperti penghindaran pajak, illicit financial flows atau aliran keuangan gelap, dan pertukaran informasi.

Kedua (Workstream 2), terkait pemajakan aktivitas ekonomi jasa. Ketiga (Workstream 3), terkait pencegahan dan penyelesaian sengketa. “Yang agak teknis dibahas di Workstream 2 dan Workstream 3,” jelas Mekar pekan lalu.

Dia menjelaskan bahwa persoalan pemajakan perusahaan jasa multinasional ada di bagian Workstream 2. Dalam hal ini, Mekar mengungkapkan bahwa Indonesia memberi masukan terkait pola pendekatan.

Menurutnya, negara-negara maju lebih suka pemajakan perusahaan berdasarkan pendapatan bersih (net). Sementara itu, Indonesia lebih suka pemajakan berdasarkan omzet atau pendapatan kotor (bruto).

“Itu jadi bagian yang kita sampaikan. Ini masih sirkulasi, pembahasan-pembahasan saja, dan kita memberikan masukan-masukan di situ,” ujar Mekar.

Terkait Workstream 3, dia mengungkapkan bahwa Indonesia mendukung ketentuan penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Hanya saja, sambungnya, Indonesia masih tidak setuju dengan mekanisme arbitrase wajib sebagai penyelesaian sengketa pajak lintas negara.

Oleh sebab itu, Mekar menjelaskan bahwa Indonesia masih akan terus mendorong agar UNFCITC tidak merugikan negara berkembang. Pemerintah akan terus mengikuti pembahasan hingga konvensi pajak global itu betul-betul rigid hingga perhitungan teknisnya sudah ada.

Kendati demikian, besar kemungkinan negara-negara maju tempat banyak perusahaan multinasional bermarkas akan banyak memberikan perlawanan. Dia pun menggarisbawahi pentingnya negara-negara berkembang kompak menyuarakan kepentingannya.

“Itu harus mulai di develop [kembangkan] dari sekarang, bagaimana geopolitiknya harus kita munculkan supaya hak yang lebih adil yang kita perjuangkan di dalam UN Tax Framework ini nanti juga bisa betul-betul diimplementasikan. Tapi kita masih butuh waktu,” ungkap Mekar.

Kronologi Pembahasan

Adapun, Mekar menjelaskan bahwa pembahasan UNFCITC sudah dimulai pada November 2022. Saat itu, delegasi dari Nigeria yang mewakili Grup Afrika mengusulkan draf konvensi pajak global yang berbuah Resolusi 77/244 yang merupakan mandat awal penyusunan UNFCITC.

Pada Desember 2023, diterbitkan Resolusi 78/230 terkait pembentukan Intergovernmental Negotiating Committee (INC) alias Komite Perunding Antar-Pemerintah dan penyusunan Term of Reference (ToR) atau kerangka acuan kerja.

Pada Juni 2024, zero draft ToR terbit yang berisi masukan negara anggota. Pada Juli 2024, draft ToR final diadopsi dalam Komite Kedua PBB (Ekonomi dan Finansial).

Dalam proses jajak pendapat saat itu, tercatat sebanyak 125 negara mendukung, 9 negara menentang (Argentina, Australia, Kanada, Israel, Jepang, Selandia Baru, Republik Korea, Inggris, Amerika Serikat), dan 46 negara abstain.

Pada Februari 2025, Organizational Session menetapkan Protocol I & II. Kemudian pada pembahasan terakhir pada April 2025, INC menyetujui pedoman dan petaka jalan yang berisi tiga alur kerja (3 Workstream).

Adapun Manajer Riset dan Pengetahuan The Prakarsa Roby Rushandie menjelaskan bahwa UNFCITC muncul dari ketidakpuasan negara-negara berkembang terutama di Afrika dari hasil pembahasan Dua Pilar Pajak Global Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD)/G20 yang diimplementasikan pada 9 Juni 2023.

“UN Tax Convention ini diyakini menjadi suatu yang transformatif untuk membentuk suatu keraka pajak global yang baru,” ujar Roby pada kesempatan yang sama.

Roby menilai untuk negara berkembang seperti Indonesia, UNFCITC memiliki enam kelebihan daripada Dua Pilar Pajak Global OECD/G20. 

Pertama, terkait keadilan pajak. Menurutnya, Konvensi Pajak PBB menempatkan pajak sebagai instrumen keadilan, redistribusi, dan pemenuhan hak asasi manusia, dengan keterkaitan langsung pada tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) dan keadilan sosial; sementara itu, OECD lebih menekankan aspek teknis perpajakan dan cenderung mengabaikan dimensi keadilan maupun pemerataan.

Kedua, dari sisi inklusivitas, PBB menggunakan prinsip one country, one vote (satu negara, satu suara) yang melibatkan masyarakat sipil, sehingga semua negara, termasuk negara berkembang, punya suara setara. Sebaliknya, OECD dikendalikan oleh 38 negara anggota dengan pendekatan konsensus yang pada praktiknya lebih menguntungkan negara maju.

Ketiga, terkait alokasi hak pemajakan. Roby mencatat PBB cenderung berpihak kepada negara sumber, yaitu negara tempat aktivitas ekonomi terjadi; sementara OECD lebih berpihak pada negara domisili perusahaan multinasional (MNEs), yakni negara markas besar yang umumnya adalah negara maju.

Keempat, terkait mepentingan negara berkembang. Konvensi Pajak PBB dinilai bisa lebih efisien memerangi aliran keuangan gelap dan memperkuat basis pajak berbasis sumber; sementara dalam kerangka OECD, keuntungan lebih banyak jatuh ke negara markas perusahaan multinasional, dengan tambahan kecil untuk negara berkembang.

Kelima, dari segi legitimasi. Konvensi PBB memiliki basis resolusi Majelis Umum PBB yang tinggi legitimasinya; sementara legitimasi OECD lebih banyak dipengaruhi oleh kelompok G7 dan G20 yang secara politik mengarahkan kerja lembaga tersebut.

Keenam, dari sisi isu-isu kunci. Roby menjelaskan konvensi PBB meliputi digitalisasi ekonomi, penyelesaian sengketa pajak, pajak kekayaan global, pajak terkait iklim, serta transparansi aset global; sementara OECD sendiri lebih fokus pada pilar pajak digital, yakni redistribusi sebagian keuntungan perusahaan digital besar (Pillar 1) dan penerapan pajak minimum global 15% (Pillar 2).

“Maka UN Tax Convention ini merupakan momentum ya, karena melibatkan civil society [masyarakat sipil], kemudian juga decision making-nya [pengambilan keputusannya] yang partisipatif dan equal [setara], kemudian legitimasi dan juga potensi dari penerapan pajak yang bersifat progresif, dan juga solusi yang bisa diverse [inklusif] ya, solusi untuk negara-negara berkembang,” katanya.

———————-

Artikel berjudul “RI Soroti 4 Isu di Konvensi Kerja Sama Pajak Global PBB
dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20250929/259/1915009/ri-soroti-4-isu-di-konvensi-kerja-sama-pajak-global-pbb