JAKARTA – Di luar gegap gempita suntikan likuiditas senilai Rp200 triliun ke 5 bank, pemerintah memiliki pekerjaan besar untuk memenuhi target penerimaan pajak.
Apalagi, sampai Juli 2025 lalu, kinerja penerimaan pajak masih jauh dari ekspektasi, hanya di angka Rp990,01 triliun atau 47,6% dari outlook APBN senilai Rp2.076,9 triliun.
Sementara itu kalau membandingkannya dengan target penerimaan pajak sebelum direvisi, realisasi setoran pajak sampai Juli 2025 itu masih di angka 47,2%. Itu artinya, dalam waktu 5 bulan terakhir, pemerintah harus mengejar target penerimaan pajak hingga Rp1.086,89 triliun kalau tidak mau shortfall semakin melebar.
Padahal kalau mengacu kepada kinerja penerimaan pajak tahun-tahun sebelumnya, lazimnya sampai Juli realisasi setoran pajak sudah melebihi angka 50% dari target tahunan.
Tabel. Realisasi Penerimaan Juli 2022-2025
| Tahun | Target | Realisasi | Pertumbuhan (%) | Persentase (%) |
| 2022 | 1.486,96 | 1.028,6 | 58,79 | 69,26 |
| 2023 | 1.718,03 | 1.109.1 | 7,84 | 64,56 |
| 2024 | 1.988,8 | 1.045,32 | (5,75) | 52,56 |
| 2025 | 2.076,9 | 990,01 | (5,29) | 47,6 |
Sekadar contoh, pada tahun Juli 2024 lalu realisasi penerimaan pajak mampu mencapai Rp1.045,3 triliun atau 52,56%. Begitupula pada bulan Juli 2023, penerimaan pajak bahkan sudah menembus angka 64,56% dan pada Juli 2022 tercatat sebesar 69,26% dari target.
Selain persentase realisasi dengan target, pelemahan penerimaan pajak sejatinya juga dapat dilihat dari sisi pertumbuhannya. Pada juli 2025, penerimaan pajak masih terkontaksi cukup dalam. Angkanya minus 5,29% year on year, meskipun cenderung lebih baik dibandingkan dengan Juli tahun lalu yang terkontraksi sebesar 5,75%.
Namun demikian, jika dibandingkan dengan Juli 2023 dan 2022 yang masing-masing mampu tumbuh di angka 7,84% dan 58,79%. Khusus tahun 2022 terjadi lonjakan signifikan karena pada Juli 2021, penerimaan pajak masih dibayang-bayangi pandemi Covid-19. Realisasi penerimannya pun hanya di angka Rp647,7 triliun.
Adapun saat rapat di DPR pekan lalu, Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto mengungkap empat pemicu rendahnya penerimaan pajak pada Juli 2025. Pertama, dari pajak penghasilan (PPh) Badan sebesar Rp174,47 triliun atau setara 47,2% dari target APBN 2025. Realisasi PPh Badan itu turun 9,1% dari periode yang sama tahun lalu.
Kedua, dari PPh Orang Pribadi sebesar Rp14,98 triliun atau setara 98,9% dari target APBN 2025. Realisasi PPh Orang Pribadi itu naik 37,7% dari periode yang sama tahun lalu.
Ketiga, pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) sebesar Rp350,62 triliun atau setara 37,1% dari target APBN 2025. Realisasi PPN dan PPnBM itu turun 12,8% dari periode yang sama tahun lalu. Keempat, pajak bumi bangunan (PBB) sebesar Rp12,53 triliun. Realisasi itu naik 129,7% dari periode yang sama tahun lalu.
Apa Langkah Menteri Purbaya?
Sementara itu, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa meyakini outlook penerimaan pajak Rp2.076,9 triliun sepanjang tahun ini bisa tercapai, meski realisasi hingga Juli 2025 masih terkontraksi.
Purbaya menjelaskan bahwa pemerintah telah menempatkan dana Rp200 triliun ke lima bank yaitu Mandiri (Rp55 triliun), BRI (Rp55 triliun), BNI (Rp55), BTN (Rp25 triliun), dan BSI (Rp10 triliun) untuk menjaga likuiditas sehingga menggerakkan sektor riil.
Dia melihat bahwa perekonomian pada kuartal III/2025 memang melambat. Oleh sebab itu, penempatan dana ke sistem perbankan itu diyakini bisa menstimulus perekonomian sehingga perekonomian pada kuartal IV/2025 bisa kembali pulih.
Sejalan itu, Purbaya meyakini penerimaan pajak akan terakselerasi. Menurutnya, percepatan pertumbuhan ekonomi akan turut membantu akselerasi penerimaan pajak.
“Saya yakin bulan Oktober, November, Desember semuanya akan berbalik arah. Nanti semuanya akan berbalik termasuk PPnBM [Pajak Penjualan atas Barang Mewah] dan lain-lain mendekati target yang kita miliki,” ujar Purbaya di Kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Jumat (12/9/2025).

Di samping itu, meski target penerimaan pajak tidak tercapai, Purbaya menyatakan pemerintah masih punya sisa anggaran lebih (SAL) yang banyak dari tahun lalu yaitu sekitar Rp457,5 triliun. Oleh sebab itu, dia mengklaim pemerintah masih bisa tetap membiayai program-programnya.
“Jadi Anda enggak usah takut, mungkin kita enggak punya uang untuk membangun. Tapi nanti kalau itu jalan, semua program ini jalan, saya yakin target-targetnya akan tercapai,” tutupnya.
Risiko Besar
Adapun, tren pelambatan penerimaan pajak pada Juli 2025 itu berisiko kepada stabilitas pengelolaan anggaran, terlebih Menteri Keuangan saat ini cenderung jor-joran untuk mengguyur likuiditas yang dananya diperoleh dari saldo anggaran lebih (SAL) senilai Rp200 triliun.
Kalau merujuk ke Laporan Keuangan Pemerintah Pusat alias LKPP 2024 (Audited), posisi SAL pada tanggal 31 Desember 2024 mencapai Rp457,54 triliun. Angka ini menciut dibandingkan posisi SAL pada 31 Desember 2023 yang tercatat sebesar Rp459,5 triliun.
Di sisi lain, pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analisys (CITA) Fajry Akbar memperkirakan kemungkinan pelebaran shortfall penerimaan pajak pada tahun ini. Dia mengatakan bahwa kemungkinan realisasi penerimaan dalam kisaran 90%.
“Sudah pasti akan ada shortfall penerimaan. Sebelumnya, outlook Pemerintah penerimaan pajak akan sebesar 94%. Namun, saya melihat shortfall penerimaan akan melebar.”
Kendati demikian, Fajry berharap supaya langkah perbaikan ekonomi yang didengung-dengungkan Menteri Purbaya bukan isapan jempol semata. Apalagi, Menkeu baru begitu percaya diri jika kebijakannya tersebut dapat mendorong ekonomi sampai 6%.
“Seharusnya tidak perlu khawatir akan ada shortfall. Kalau ekonomi benar-benar tumbuh 6% pada tahun ini, penerimaan pajak otomatis akan tercapai. Tidak usah lagi fiskus menebar SP2DK.”
———————-
Artikel berjudul “Shortfall Pajak Berisiko Melebar Saat Bantalan Fiskal Semakin Tipis
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20250915/259/1911281/shortfall-pajak-berisiko-melebar-saat-bantalan-fiskal-semakin-tipis





