JAKARTA — Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengklaim bahwa sistem perpajakan tetap menjaga asas keadilan, terutama untuk rakyat kecil, meskipun target pendapatan negara naik dalam RAPBN 2026.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa pendapatan negara akan naik 9,8% dari Rp2.865,5 triliun (outlook APBN 2025) menjadi Rp3.147,7 triliun (RAPBN 2026). Menurutnya, peningkatan pendapatan negara tidak dilakukan melalui penambahan tarif pajak baru.
“Sering disampaikan seolah-olah upaya untuk meningkatkan pendapatan, kita menaikkan pajak. Padahal pajaknya tetap sama, tapi enforcement [penegakan] dan compliance [kepatuhan] akan dirapikan, ditingkatkan,” ujar Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komite IV DPD secara daring, Selasa (2/9/2025).
Bendahara negara menyatakan bahwa kebijakan pajak pemerintah tetap mengedepankan asas gotong royong. Kelompok rentan, termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta masyarakat berpendapatan rendah, tetap dilindungi.
Sri Mulyani menjelaskan bahwa UMKM dengan omzet hingga Rp500 juta masih dibebaskan dari pajak penghasilan (PPh), sedangkan yang memiliki omzet di atas Rp500 juta hingga Rp4,8 miliar hanya dikenakan PPh final 0,5%.
“Itu adalah kebijakan pemihakan kepada UMKM karena kalau tarif PPh Badan adalah angkanya di 22%,” katanya.
Selain itu, sambungnya, sejumlah sektor strategis juga memperoleh pembebasan pajak, seperti pajak pertambahan nilai (PPN) untuk kesehatan dan pendidikan, serta pembebasan PPh untuk masyarakat dengan pendapatan di bawah Rp60 juta per tahun.
Menurut Sri Mulyani, keseimbangan antara optimalisasi pendapatan negara dan perlindungan kelompok rentan menjadi kunci tata kelola fiskal yang berkelanjutan.
“Ini menggambarkan bahwa pendapatan negara tetap dijaga baik namun pemihakan gotong royong kepada terutama kelompok yang lemah tetap akan diberikan,” ucapnya.
Legitimasi Pungutan Pajak
Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS Deni Friawan menilai legitimasi fiskal pemerintah saat ini berada di titik kritis. Alasannya, banyak kontradiksi dalam pengelolaan fiskal negara.
“Rakyat diminta membayar pajak, membayar iuran, dan menerima efesiensi yang dilakukan oleh pemerintah. Di sisi lain, pemerintah tampak boros, menambah jumlah kementerian/lembaga, membiarkan rangkap jabatan di BUMN, serta menaikkan gaji dan tunjangan pejabat dan anggota DPR,” ujar Deni dalam media briefing CSIS, Selasa (2/9/2025).
Pengajar di Prasetya Mulya Business School ini mengingatkan bahwa pajak merupakan kontrak sosial antara negara dengan rakyatnya. Dalam kontrak itu, sambungnya, warga negara bersedia membayar pajak ketika mereka yakin bahwa negara akan memberikan timbal balik dalam bentuk pelayanan publik, stabilitas, dan keadilan.
Masalahnya, Deni meyakini kontrak sosial itu seakan dilanggar oleh negara dengan berbagai kontradiksi kebijakan pemerintah. Dia pun tidak heran apabila rasa keadilan kian memudar seperti yang tampak dari gelombang demonstrasi di beberapa daerah beberapa hari terakhir.
“Gelombang protes yang hari ini terjadi itu tidak lain merupakan penolakan atas ketimpangan dan kontrak sosial kita yang hari ini sangat timpang dan tidak adil,” jelas Deni.
Lebih lanjut, dia melihat bahwa beban ekonomi yang semakin berat membuat sensitivitas publik terhadap kebijakan fiskal meningkat. Kenaikan tarif pajak sekecil apa pun kini dirasakan menyesakkan.
Deni mencontohkan, rasa keadilan ekonomi akan semakin memudar ketika harga kebutuhan pokok seperti beras menembus Rp16.000 per kilogram nmaun pendapatan stagnan.
CSIS mencatat, meski pertumbuhan ekonomi stabil di kisaran 5%, distribusinya masih timpang dengan gini ratio 0,39. Sekitar 60% tenaga kerja juga masih berada di sektor informal, sementara kelas menengah terus tergerus oleh inflasi dan biaya hidup yang meningkat.
Sebagai solusi, CSIS mendorong pemerintah membangun kembali kepercayaan publik dengan menghentikan pemborosan anggaran, mengakhiri privilese elite, dan meningkatkan akuntabilitas serta transparansi belanja negara.
“Kalau ini terus diabaikan, akar permasalahan ini tidak diatasi, resiko krisis ekonomi, delegitimasi negara dan degradasi demokrasi itu akan meningkat. Sejarah telah mengajarkan kita di tahun 97-98 bahwa ketimpangan, kesulitan ekonomi, korupsi, dan lemahnya penegakan hukum itu dapat mengakibatkan krisis multidimensional yang parah dan berlangsung lama,” wanti-wanti Deni.
———————-
Artikel berjudul “Sri Mulyani Klaim Pungutan Pajak Rakyat Kecil Tetap Adil, Meski Pendapatan Negara 2026 Naik
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20250902/259/1907916/sri-mulyani-klaim-pungutan-pajak-rakyat-kecil-tetap-adil-meski-pendapatan-negara-2026-naik