JAKARTA — Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menargetkan implementasi dana bagi hasil pajak penghasilan pasal 21 (PPh 21) atau pajak karyawan berdasarkan domisili pada tahun 2026.
Jika jadi diterapkan, kondisi ini akan berdampak kepada jumlah dana bagi hasil PPh pajak penghasilan yang dibagikan ke sejumlah daerah, salah satunya Daerah Khusus Jakarta.
Sekadar catatan, pada tahun 2024 lalu, Provinsi Jakarta memperoleh dana bagi hasil alias DBH PPh senilai Rp15,59 triliun. Itu artinya jika rencana Kementerian Keuangan (Kemenkeu) itu terealisasi, maka DBH PPh Jakarta berpotensi berkurang dari tahun sebelumnya. Pasalnya, sebagian pekerja di Jakarta berdomisili di luar daerah.
Sebelumnya, Staf Khusus Gubernur Jakarta Pramono Anung, Yustinus Prastowo meminta agar pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melibatkan pemerintah daerah (pemda) dalam mengkaji ulang skema bagi hasil Pajak Penghasilan (PPh) 21, alias PPh karyawan.
Dalam pemberitaan sebelumnya, Kemenkeu tengah mengkaji perubahan skema bagi hasil pungutan PPh berdasarkan domisili karyawan. Saat ini, skema masih merujuk pada lokasi pemotong pajak.
Saat dimintai tanggapan, Yustinus Prastowo mengaku dalam hal ini Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Jakarta belum mendapatkan ajakan untuk berdiskusi mengenai kajian tersebut.
“Sejauh ini belum ada. Kami siap jika diajak mendiskusikannya,” jelasnya kepada Bisnis, Kamis (4/9/2025).
Menurut Yustinus, kebijakan desentralisasi fiskal adalah sepenuhnya kewenangan pemerintah pusat. Daerah dipastikan tentu akan mengikuti kebijakan Pusat. Namun, apabila saat ini masih dalam tahap kajian, otoritas fiskal pusat diharapkan bisa turut mengajak keterlibatan pemerintah daerah.
“Jika masih di tahap kajian, akan bagus jika Daerah juga dapat dilibatkan agar bisa memberikan masukan, sehingga kebijakan yang diambil bisa lebih komprehensif dan implementatif di lapangan,” terangnya.
Rencana Implementasi
Adapun Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan bahwa masih menyempurnakan skema baru tersebut, termasuk dampaknya ke penerimaan pemerintah daerah. Kendati demikian, kebijakan tersebut ditargetkan mulai berlaku pada tahun depan.
“Sedang dikerjakan. Kita lagi me-mapping [memetakan] PPh 21 berbasis kepada domisili. [Targetnya] untuk 2026,” jelas Anggito di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, dikutip Minggu (21/9/2025).
Sebelumnya, wacana perubahan skema dana bagi hasil PPh 31 diungkapkan dalam rapat kerja dengan DPD awal September ini. Saat ini, mekanisme bagi hasil PPh 21 masih mengacu pada lokasi pemotong pajak (perusahaan), bukan domisili karyawan.
Anggito meyakini bahwa skema berbasis domisili diyakini akan lebih adil serta menjawab aspirasi daerah yang selama ini meminta keadilan pembagian pajak.
Pro-Kontra
Kendati demikian, wacana tersebut menuai pro dan kontra. Dari sisi pro, Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia Prianto Budi Saptono meyakini wacana skema baru bagi hasil PPh 21 dimaksudkan untuk memastikan distribusi hasil pajak lebih merata.
“Keadilan distributif itu mengatur bagaimana barang, kekayaan, hak, dan beban didistribusikan secara adil di antara anggota masyarakat. Tujuan adalah untuk menyeimbangkan kesenjangan. Jadi, asas ini berfokus pada hasil distribusi, misalnya kekayaan, dan bukan pada proses,” ujar Prianto kepada Bisnis, Minggu (7/8/2025).
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute ini menjelaskan, PPh 21 yang dipotong dari penghasilan pekerja dan dibagihasilkan ke pemerintah daerah sesuai domisili pekerja memungkinkan distribusi dana pajak ke daerah. Hal ini membuat dana pajak tidak lagi terpusat di kota-kota besar.
Dia mencontohkan, jika sebuah perusahaan di Jakarta memiliki 1.000 pekerja yang domisilinya tersebar di 20 kabupaten/kota di luar Jakarta, maka dana bagi hasil PPh 21 akan mengalir ke 20 daerah tersebut.
“Kondisi demikian akan lebih memeratakan dana bagi hasil dari pemerintah pusat ke pemerintah kabupaten/kota di luar Jakarta,” jelasnya.
Prianto menilai cara ini bisa membantu mengurangi kesenjangan fiskal antarwilayah. Selama ini, perusahaan besar umumnya berlokasi di Jakarta atau kota besar lain sehingga penerimaan dana bagi hasil PPh 21 lebih banyak dinikmati daerah tersebut.
Sementara dari sisi kontra, Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar melihat kebijakan ini bisa menimbulkan diskriminasi perekrutan tenaga kerja karena dapat mendorong perusahaan hanya merekrut buruh yang sesuai dengan domisili tertentu.
“Perusahaan selama ini juga mendapatkan manfaat secara tidak langsung dari fasilitas umum yang diberikan pemerintah daerah,” jelasnya, Sabtu (6/9/2025).
Dia memberi catatan bahwa perubahan skema dana bagi hasil tidak otomatis menyelesaikan persoalan penurunan anggaran transfer ke daerah (TKD) seperti yang tercantum dalam RAPBN 2026.
Meski demikian, dia mengakui ada potensi tambahan penerimaan bagi daerah di luar kota-kota besar/industri. Hanya saja, manfaat wacana skema baru itu diyakini hanya akan banyak dirasakan oleh daerah penyangga kota besar.
“Saya menduga dampaknya akan terbatas, hanya antarwilayah di Pulau Jawa saja, tidak menyentuh masalah ketimpangan sebenarnya yakni antara Pulau Jawa dengan lainnya atau wilayah Barat dengan Timur,” tegasnya.
———————-
Artikel berjudul “Wacana Bagi Hasil PPh Berdasarkan Domisili Karyawan, Jakarta Paling Dirugikan?
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20250922/259/1913357/wacana-bagi-hasil-pph-berdasarkan-domisili-karyawan-jakarta-paling-dirugikan