JAKARTA — Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa tidak memiliki hanyak waktu. Dia harus mengejar kekurangan penerimaan pajak yang sampai September 2025 lalu, masih di kisaran 62,4%.
Saat ini, pemerintah sulit untuk mengelak bahwa shortfall atau selisih antara targer dan realisasi pajak tahun ini akan melebar dari outlook APBN 2025 di angka Rp2.076,9 triliun.
Sekadar catatan penerimaan pajak per September 2025 masih di angka 62,4% atau kurang sebesar Rp781,6 triliun dari outlook APBN. Periode yang sama tahun lalu penerimaan pajak telah mencapai 70% dari target.
Artinya kalau mengacu kepada data tahun lalu, dengan realisasi penerimaan pajak sebesar Rp1.932,4 triliun, pemerintah berhasil memenuhi sekitar 29,8% penerimaan dalam waktu 3 bulan. Persoalannya data 2025 menunjukkan dengan penerimaan 62,4% pemerintah harus mengejar penerimaan pajak sebesar 37,6% dari target agar shortfall tidak melebar atau minimal pas dengan outlook APBN.
Data yang dihimpun Bisnis mencatat bahwa, capaian penerimaan pajak 3 bulan menjelang akhir tahun pada 2022-2024, hanya di kisaran 26,4%. Kalau menggunakan skema tren tersebut, maka skenario paling pesimistis penerimaan pajak pada tahun pertama Prabowo, akan berada di kisaran 88,8% dari outlook APBN atau sekitar Rp1.844,3 triliun.
Simulasi itu sekaligus menjadi catatan bahwa kekurangan penerimaan pajak sebesar 37,6% pada tahun 2025 menjadi sangat ambisius. Apalagi untuk tahun 2025, nyaris tidak ada momentum politik maupun ekonomi yang bisa mengerek aktivitas ekonomi secara signifikan, selain sejumlah stimulus ekonomi yang digelontorkan pemerintah.
Dengan catatan kinerja penerimaan pajak setidaknya sampai September 2025, pemerintah perlu mengejar sisa target supaya tidak membenani pemerintahan Prabowo pada tahun berikutnya.
Pasalnya dengan target penerimaan pajak sebesar Rp2.357,7 triliun pada 2026 dan proyeksi pesimistis penerimaan pajak di angka 88,8% dari outlook APBN 2025, pertumbuhan penerimaan pajak yang harus dikejar Prabowo menembus angka 27,8%. Kalau merunut ke belakang, pertumbuhan penerimaan pajak di atas 20% adalah suatu fenomena yang sangat jarang terjadi.
Kebijakan Pajak Belum Jelas
Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai kebijakan perpajakan yang dijalankan pemerintahan Prabowo-Gibran memang belum menunjukkan arah yang jelas.
Menurutnya, Prabowo mewarisi kondisi ‘mati gaya’ dari akhir pemerintahan Jokowi, ketika sejumlah kebijakan fiskal dibatalkan, termasuk rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) dan program Tapera.
“Tidak ada yang salah dengan keputusan membatalkan kebijakan. Itu bentuk pemerintah mendengar aspirasi publik. Namun, ketika potensi penerimaan turun, belanja negara semestinya ikut disesuaikan,” jelasnya kepada Bisnis, Minggu (19/10/2025).
Fajry mengingatkan, ketidakseimbangan antara penerimaan dan belanja berpotensi memperlebar defisit. Kondisi itu bisa mempertinggi persepsi risiko fiskal, yang terbukti ketika investor asing menarik kepemilikan surat utang pemerintah pada September lalu dan menekan nilai tukar rupiah.
Dia mengingatkan agar pemerintah tidak mengulang kesalahan kebijakan fiskal sembrono seperti yang dilakukan mantan Perdana Menteri Inggris Elizabeth Truss, yang gagal menjaga keseimbangan antara pemotongan pajak dan pengeluaran negara.
“Saat itu Truss melakukan pemotongan tarif pajak [pendapatan] namun gagal menjaga sisi pengeluaran [belanja]. Akhirnya, nilai tukar poundsterling anjlok dan inflasi meningkat,” katanya.
Fajry pun menilai APBN 2025 menghadapi risiko shortfall pajak yang besar. Jika kinerja penerimaan pajak sampai akhir tahun hanya setara dengan capaian beberapa bulan terakhir maka dia memproyeksikan realisasi penerimaan pajak hanya mencapai 82,22% dari outlook sepanjang tahun atau shortfall sekitar Rp389,26 triliun.
“Sekalipun ada extra effort seperti tahun lalu, penerimaan pajak hanya akan mencapai 85%–88%. Sangat sulit untuk mencapai outlook APBN yang ditetapkan 94%,” jelas Fajry.
Sejalan dengan itu, terget penerimaan pajak dalam APBN 2026 akan semakin tidak realistis. Jika terjadi shortfall pajak melebar pada tahun ini maka pemerintah harus menambah penerimaan sekitar Rp557,66 triliun atau naik 30,98% agar sesuai dengan target pada tahun depan.
‘Kita tidak bisa berharap sentuhan ‘magis’ Sri Mulyani karena beliau sudah tak lagi menjabat. Kita berharap pada sentuhan ‘magis’ Purbaya agar risiko APBN tetap terjaga. Kita tak tahu, apakah dia punya kemampuan seperti SMI atau tidak? Beliau harus membuktikan. Kembali saya ingatkan, risiko fiskal adalah hal penting yang perlu kita jaga,” ujarnya.
Lebih jauh, Fajry juga menyoroti lemahnya koordinasi di internal pada tahun pertama masa pemerintahan Prabowo-Gibran. Dia menilai terlalu banyak ‘kepala’ yang tidak terkontrol, bahkan kerap membuat pernyataan publik yang saling bertentangan.
“Ada pejabat yang menyalahkan Menteri Keuangan atas kebijakan PPN dan PPh Badan, ada yang mendorong penurunan tarif, ada juga yang ingin menggelar amnesti pajak jilid III,” ingatnya.
Fajry menyebut kondisi tersebut menimbulkan ketidakpastian kebijakan yang tinggi, berdampak pada perilaku dunia usaha yang cenderung menahan investasi. Akibatnya, perekonomian menjadi lesu.
“Berbeda sekali dengan di era Jokowi, dulu hanya ada duet Sri Mulyani dan Airlangga Hartarto. Sekarang banyak sekali ‘kepala’ yang tak terkontrol dan hanya buat gaduh,” tutupnya.
———————-
Artikel berjudul “Waktu Purbaya Tak Banyak, Pelebaran Shortfall Pajak di Depan Mata
“ dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20251020/259/1921753/waktu-purbaya-tak-banyak-pelebaran-shortfall-pajak-di-depan-mata