Kemenkeu: Penghasilan Netflix Besar di Indonesia, Tapi Enggak Bayar Pajak

JAKARTA — Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan (DJSEF Kemenkeu) mengakui bahwa sejumlah perusahaan jasa digital multinasional sama sekali tidak membayar pajak di Indonesia, meski mengambil banyak keuntungan di Tanah Air.

Senior Analis Pajak Internasional DJSEF Kemenkeu Melani Dewi Astuti mencontohkan, salah satu perusahaan jasa digital multinasional seperti itu adalah Netflix. Alasannya, belum ada dasar hukum memajaki perusahaan jasa digital multinasional yang tidak memiliki kehadiran fisik di Indonesia.

Apalagi, sambungnya, Pasal 7 dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dari OECD Model Convention menegaskan laba suatu perusahaan hanya dapat dipajaki apabila memiliki bentuk usaha tetap atau permanent establishment di negara tersebut.

“Netflix di sini bayar pajak enggak? Enggak. Kenapa? Karena memang Netflix satu pun tidak punya kehadiran fisik di Indonesia, baik itu agen, baik itu anak usaha, tidak ada satu pun,” ungkap Melani di Seminar Nasional Taxplore UI 2025 seperti yang ditayangkan secara daring, Kamis (2/10/2025).

Padahal, dia mengingatkan bahwa pelanggan Netflix di Indonesia sangat besar. Hanya saja, menurutnya, selama ini warga Indonesia membayar biaya langganan langsung ke kantor Netflix di Singapura atau Belanda. “Sehingga mereka punya penghasilan yang sangat besar dari Indonesia, tapi kita enggak bisa memajaki,” ungkap Melani.

Dia membandingkan dengan perusahaan jasa digital multinasional lainnya yang sudah memiliki kehadiran fisik di Indonesia seperti Apple hingga Google.

Melani mengakui bahwa pemerintah memang belum memungut pajak penghasilan (PPh) Apple maupun Google, tetapi baru memungut pajak pertambahan nilai (PPN) dari setiap transaksi pengguna di platform tersebut.

“Ya walaupun kita tidak bisa memajak di atas semua penghasilan dia dari konsumen di Indonesia, tapi paling tidak ada pajaknya,” ujarnya.

Dia menjelaskan sebenarnya konvensi pajak global seperti Pilar 1 OECD/G20 sudah coba mencari solusi dari kesulitan pemajakan jasa digital tersebut. Dalam Pilar 1, basis hak pemajakan diubah dari kehadiran fisik menjadi kehadiran ekonomi.

Dengan pergeseran basis hak itu, Indonesia bisa memajaki Netflix maupun perusahaan jasa digital multinasional lain yang tidak memiliki kantor namun memiliki banyak pengguna/pelanggan di Tanah Air.

“[Karena] kekurangan dasar hukum untuk memajaki penghasilan dari ekonomi digital, timbul lah kemudian Pilar 1 yang tujuannya merealokasi laba ke negara pasar. Tidak semua laba, hanya porsi dari residual profit [yaitu] 25% di atas 10% laba,” ungkap Melani.

Masalahnya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memutuskan untuk menarik diri dari konvensi Pilar 1 OECD/G20 itu. Padahal, sambungnya, AS mewakili sekitar 48% perusahaan jasa digital multinasional yang tercakup Pilar 1. 

Sementara itu, syarat agar Pilar 1 dapat diberlakukan yaitu setidaknya 30 negara yang mewakili setidaknya 40% perusahaan induk dari grup usaha multinasional.

“Sementara AS sendiri 48%. Kalau AS tidak tanda tangan, tidak bisa. Maka Pilar 1 ini sampai sekarang belum diterapkan. Jadi sampai sekarang Indonesia tidak punya dasar hukum mengenakan pajak atas penghasilan PMSE [perdagangan melalui sistem elektronik] luar negeri dari konsumen di Indonesia,” jelas Melani.

———————-

Artikel berjudul “Kemenkeu: Penghasilan Netflix Besar di Indonesia, Tapi Enggak Bayar Pajak
dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20251002/259/1916925/kemenkeu-penghasilan-netflix-besar-di-indonesia-tapi-enggak-bayar-pajak