Ketidakadilan Fiskal Picu Gelombang Protes, Perlu Reformasi Pajak?

JAKARTA — Besarnya gaji dan tunjangan pejabat negara memicu gelombang protes di berbagai daerah beberapa hari terakhir. Di media sosial, bahkan muncul seruan “stop bayar pajak”.

Kepala Riset Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai situasi yang terjadi belakangan ini berpotensi mengganggu kepatuhan formal wajib pajak, meski dampaknya diperkirakan tidak terlalu besar.

Dia tidak yakin akan terjadi pembangkangan pembayaran pajak. Bagaimanapun, sambungnya, jumlah wajib pajak yang melapor surat pemberitahuan tahunan (19,7 juta pada 2024) masih sangat kecil dibandingkan jumlah tenaga kerja (145,7 juta pada Februari 2025).

“Bahasa kasarnya, toh, selama ini sebagian besar dari pekerja kita tidak masuk dalam sistem perpajakan, bagaimana mungkin mau melakukan tax revolt [pembangkangan pajak]?,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (2/9/2025).

Lebih lanjut, Fajry tidak setuju dengan anggapan bahwa sistem perpajakan Indonesia tidak berkeadilan. Dia mencontohkan PPN yang kerap dicap regresif sebenarnya telah diberi banyak fasilitas, baik untuk masyarakat kelas menengah-bawah maupun usaha kecil.

Menurutnya, jika bicara keadilan fiskal maka jangan hanya melihat sisi pungutan tetapi juga belanja negara. Dia mengutip studi Kementerian Keuangan dan Bank Dunia (2020), yang menunjukkan manfaat bersih (net benefit) kebijakan fiskal lebih besar dinikmati masyarakat kelas menengah-bawah dibandingkan kelompok atas.

Temuan itu, ungkapnya, mencakup berbagai kebijakan seperti pungutan pajak tidak langsung (PPN dan cukai), bantuan sosial, subsidi energi, hingga layanan pendidikan dan kesehatan.

“Artinya apa? Meskipun pemerintah bergantung pada penerimaan PPN [pajak pertambahan nilai] yang dianggap regresif, selama sisi pengeluaran ditujukan untuk masyarakat bawah seperti belanja kesehatan, maka yang paling menikmati adalah masyarakat kelas menengah dan bawah,” kata Fajry.

Pajak Orang Kaya jadi Kunci

Di samping itu, Fajry menekankan pentingnya pajak penghasilan (PPh) sebagai instrumen distribusi kekayaan. Pemerintah telah melakukan sejumlah langkah, mulai dari menaikkan tarif PPh orang pribadi tertinggi hingga mengenakan pajak natura yang dulu kerap digunakan kalangan berpendapatan tinggi untuk menghindari tarif pajak maksimal.

Selain itu, otoritas pajak kini memanfaatkan Automatic Exchange of Information (AEOI) untuk mengawasi aset keuangan warga negara Indonesia di luar negeri. Saat pandemi, sambungnya, banyak orang super kaya menerima SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan) atas aset luar negeri yang belum dilaporkan.

Meski begitu, dia menilai langkah tersebut belum cukup sehingga reformasi sistem perpajakan harus terus berlanjut. Fajry mendorong Indonesia untuk aktif mengadvokasi inisiatif global, seperti ‘Billionaire Minimum Income Tax’ yang digagas Partai Demokrat AS atau ‘Coordinated Minimum Effective Taxation Standard’ yang diajukan ekonom Gabriel Zucman.

“Jadi, ada semacam pajak tambahan bagi kelompok super kaya jika jumlah pajak yang dibayarkan tidak sebanding dengan jumlah aset yang dimiliki. Sedangkan bagi mereka yang telah patuh, tidak perlu dikenakan pajak tambahan,” jelasnya.

Kendati demikian, Fajry menilai dua mekanisme pajak itu hanya bisa terwujud apabila ada koordinasi internasional yang jelas. Dia mendorong pemerintah secara aktif untuk mengadvokasi kebijakan tersebut bersama dengan negara berkembang lainnya dan sejumlah negara negara Eropa yang juga sudah mendukung proposal tersebut.

Selain itu, Fajry menekankan bahwa keadilan fiskal tak hanya soal pajak, tetapi juga bagaimana negara mengelola belanja publik. Fokus belanja negara harus lebih tepat sasaran, khususnya untuk kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial—bukan fokus untuk menggaji dan menaikkan tunjangan pejabat negara yang hanya menciptakan ketidakadilan fiskal.

———————-

Artikel berjudul “Ketidakadilan Fiskal Picu Gelombang Protes, Perlu Reformasi Pajak?
dikutip dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20250902/259/1907998/ketidakadilan-fiskal-picu-gelombang-protes-perlu-reformasi-pajak