JAKARTA — Pemerintah saat ini tengah merampungkan kebijakan perpajakan baru bagi aset kripto. Para pedagang kripto berharap agar aturan baru mempertimbangkan untuk tidak lagi dipungut pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap transaksi kripto.
Chairman Indodax Oscar Darmawan mengapresiasi langkah pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang sedang memfinalisasi kebijakan perpajakan aset kripto. Menurutnya, langkah tersebut merupakan sinyal positif karena menunjukkan komitmen pemerintah untuk menata industri aset digital secara lebih inklusif dan adaptif terhadap perkembangan teknologi finansial.
Namun, seiring dengan berpindahnya pengawasan aset kripto ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mulai Januari 2025, dia berharap revisi aturan pajak juga mempertimbangkan status baru kripto sebagai produk keuangan, bukan lagi komoditas.
“Jika mengacu pada perlakuan produk keuangan lainnya, seharusnya aset kripto tidak lagi dikenakan PPN, melainkan hanya pajak penghasilan yang sifatnya proporsional dan adil,” ujar Oscar pada beberapa waktu lalu.
Saat ini, pajak kripto mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 dan PMK Nomor 81 Tahun 2024, yaitu PPN 0,11% dan pajak penghasilan (PPh) final 0,1% per transaksi.
“Ke depan, akan lebih tepat jika regulasi pajak disesuaikan dengan karakteristik industri ini,” ujar Oscar.
Dia mengusulkan agar prinsip pajak kripto adalah fairness dan feasibility. Fairness berarti pajak tidak memberatkan pelaku industri maupun investor ritel, dan selaras dengan praktik global. Feasibility berarti mekanisme pemungutannya harus jelas dan sederhana agar tidak menimbulkan kebingungan dan lebih transparan.
“Banyak negara besar yang masih menggunakan skema pajak atas capital gain, bukan transaksi, sehingga revisi aturan ini dapat menjadi momentum untuk mendekatkan Indonesia pada praktik internasional yang lebih kompetitif,” ujar Oscar.
Dia juga mendorong agar pemerintah melibatkan asosiasi dan pelaku industri dalam penyusunan aturan baru pajak kripto. Tujuannya agar kebijakan yang lahir tidak hanya meningkatkan penerimaan negara tetapi mendukung inovasi, meningkatkan daya saing, serta menjadikan Indonesia sebagai pusat pertumbuhan ekonomi digital di kawasan.
Sebelumnya, CEO Tokocrypto Calvin Kizana juga berharap agar revisi aturan perpajakan mempertimbangkan status aset kripto yang kini berada di bawah OJK sebagai aset keuangan, bukan lagi komoditas.
Apabila kripto diperlakukan sebagai produk keuangan, maka seharusnya tidak dikenakan PPN, sebagaimana produk keuangan lainnya. Alhasil, menurutnya revisi PMK Nomor 81 bisa mengakomodasi hal tersebut.
Calvin menambahkan, meskipun regulasi pajak kripto di Indonesia sudah cukup moderat dibandingkan negara lain, seperti AS yang mengenakan PPh hingga 37% atas capital gain dari aset digital, masih ada ruang untuk penyempurnaan.
“Beberapa negara seperti Thailand bahkan telah mengambil langkah progresif dengan
membebaskan pajak penghasilan pribadi atas transaksi kripto lokal hingga 2029. Ini adalah sinyal bahwa pendekatan fiskal yang suportif bisa mendorong daya saing industri,” ujar Calvin.
CEO Triv Gabriel Rey juga mengatakan seiring dengan beralihnya pengawasan aset kripto dari Bappebti ke OJK pada awal tahun ini, pelaku perdagangan aset kripto berharap terdapat dukungan adanya kelonggaran pajak transaksi kripto.
“Harapan kami, karena ini [aset kripto] sudah masuk sektor keuangan, pajak kripto bisa diturunkan,” tuturnya.
Dia juga mengatakan telah menyampaikan usulan kepada OJK agar ketentuan PPN untuk transaksi kripto yang besar dihapuskan.
“Kalau dihapuskan [PPN aset kripto], transaksi otomatis melonjak,” kata Gabriel.
Sebagaimana diketahui, DJP Kementerian Keuangan tengah merampungkan kebijakan perpajakan baru untuk dua instrumen digital dan investasi yang kian populer, yakni aset kripto serta logam mulia (bullion).
Langkah tersebut merupakan bagian dari inisiatif besar untuk memperluas cakupan pemajakan atas transaksi digital yang akan diterapkan secara lebih sistematis mulai 2026.
Sejak diberlakukannya PMK Nomor 68/PMK.03/2022 pada 1 Mei 2022, aset kripto telah menjadi bagian dari sistem perpajakan nasional.
DJP mencatat bahwa hingga 31 Maret 2025, penerimaan dari sektor usaha ekonomi digital mencapai Rp34,91 triliun. Adapun, kontribusi dari pajak transaksi kripto sebesar Rp1,2 triliun.
———————-
Artikel berjudul “Pajak Bitcoin Cs Diatur, Para Bos Pedagang Kripto RI Harap Tak Lagi Kena PPN
“ dikutip dari https://market.bisnis.com/read/20250721/94/1894848/pajak-bitcoin-cs-diatur-para-bos-pedagang-kripto-ri-harap-tak-lagi-kena-ppn